"Ini tidak mungkin Dewan Pers dibentuk melalui UUD gitu kan. Tetapi kalau lembaga ini dibentuk Kementerian Kominfo maka dia tidak akan independen gitu ada ketergantungan, ada kemudian ada pengaruh dari Kominfo gitu kan," respons dia.
Wahyudi mencontohkan situasi yang pernah terjadi di 2014. Kala itu Kominfo diisi oleh Menteri Tifatul Sembiring dan mengeluarkan Peraturan Menteri No. 19 tahun 2014 tentang penanganan situs internet bermuatan negatif kemudian dibentuk panel konten.
Pada regulasi tersebut berisikan keterwakilan dari berbagai pemangku kepentingan dan akhirnya panel konten ini juga tidak bisa bekerja secara baik.
"Mustinya, hari ini perdebatan itu tidak ada lagi. Apalagi kalau kita membaca hasil revisi UU ITE 2024 itu, dikatakan bahwa pemerintah wajib untuk memutus akses atau melakukan moderasi konten. Tapi kewenangan absolut itu sebenarnya pemerintah gitu kan," jelas dia.
Wahyudi juga menilai bahwa wacana DMS menyiratkan pesan bahwa pemerintah melempar tanggung jawab kepada pihak lain namun tetap di bawah kontrol Kementerian teknis bidang kominfo.
"Nanti malah muncul tindakan-tindakan over blocking, salah blokir, dan sebagainya, yang akan disalahkan lembaga yang dibentuk Kominfo ini, Dewan Media Sosial. Bukan kemudian menuntut pertanggungjawaban pemerintah," jelas dia.
"Muncul kekhawatiran akan esksesif, bahwa pemerintah akan semakin banyak meminta Dewan Media Sosial untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap konten gitu kan," jelasnya.
Ia kembali berkaca pada tahun 2021, dimana saat itu Google mengeluarkan laporan transparansi, menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia paling banyak meminta take down konten di Google namun belum dilakukan kepada platform dan ISP lain.
"Dengan pertimbangan-pertimbangan itu hari ini mustinya mengacu pada hasil revisi undang-undang ITE, mungkin pemerintah bisa distribusi kewenangan soal pembatasan konten atau moderasi konten gitu kan dan melibatkan platform,"ucap Wahyudi.
Agustus 2023 Kominfo berencana menghadirkan DMS sebagai bagian dari usulan UNESCO namun urung dilakukan hingga berganti tahun. Wacana DMS berangkat dari fenomena media sosial yang kini menimbulkan kerisauan dalam hal aspek ekonomi dan terjadi di berbagai negara. Sebelumnya Budi menyatakan proposal Dewan Media Sosial harus menyertakan publik dalam mekanisme kontrol.
Budi Arie memberi contoh aktivitas ekonomi semakin masif pada platform media sosial, sekaligus menjadi disrupsi e-commerce. Aktivitas social commerce makin jamak lewat praktik jual beli online melalui jaringan media sosial.
“Eropa dan Amerika juga sudah risau dengan social media, jangan dipikir kita saja. Jadi mereka tawarannya itu. Jangan pakai pengawas tapi Dewan Media Sosial, karena mereka juga sudah pusing mengatur ranah digital di negara masing-masing,” papar Budi Arie.
Dengan hadirnya Dewan Media Sosial dan masyarakat dari bebagai elemen ikut berperan di dalamnya, membuat ruang digital dapat saling dikontrol oleh berbagai pihak. “Jadi misalnya akademisi, anggota pers, masyarakat, tokoh agama saling mengontrol. Karena sekali lagi, negara lain di Eropa dan Amerika juga jadi kerisauan kalau tidak ada kontrol, tapi bukan kontrol dalam artian Orde Baru,” papar dia.
(wep)