Mimpi Indonesia keluar dari jebakan kelas menengah (middle income trap) bisa semakin jauh. Terbuka risiko kelas menengah akan terdegradasi akibat berbagai guncangan yang mengerosi daya beli.
Kelas menengah di Indonesia, bila mengacu pada kategorisasi yang pernah dibuat oleh Bank Dunia memakai data tahun 2016, terdiri atas dua subkelompok yakni calon kelas menengah (aspiring middle class) dan kelas menengah.
Jumlah kedua subkelompok ini sangat besar, total mencapai 168,3 juta orang terdiri atas 114,7 juta orang di kelompok aspiring middle class dan 53,6 juta orang middle class. Jumlah itu setara 64,5% dari total populasi RI pada 2016 yang mencapai 261 juta jiwa.
Kategorisasi itu mendefinisikan kelas menengah sebagai kalangan dengan pengeluaran antara 3,5 kali sampai 17 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan.
Dengan memakai ukuran Garis Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik pada 2023 sebesar Rp507.286 per bulan per kapita, maka kelompok kelas menengah di Indonesia saat ini adalah mereka yang memiliki pengeluaran mulai Rp1,77 juta hingga Rp8,62 juta per orang per bulan. Menurut Bank Dunia, kelompok ini secara ekonomi sudah aman dan hanya berpotensi kecil terjatuh menjadi kelompok rentan atau miskin.
Sedangkan calon kelas menengah adalah orang dengan pengeluaran 1,5 kali sampai 3,5 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan, atau antara Rp760.929 hingga Rp1,77 juta per orang per bulan. Kelompok ini sudah tidak lagi masuk dalam kategori miskin atau rentan akan tetapi kondisi finansial mereka belum cukup aman sehingga bisa gampang 'turun kelas' saat ada guncangan dalam perekonomian yang mengerosi daya beli mereka. Misalnya, ketika terjadi resesi atau krisis seperti yang terjadi ketika pandemi pecah beberapa waktu lalu atau krisis keuangan tahun-tahun sebelumnya.
Profil ini biasa dikenal juga sebagai kelas menengah bawah. Analisis BPS terhadap data SUSENAS 2021 mencatat, 69 dari 100 penduduk Indonesia adalah penduduk berpendapatan menengah ke bawah.
Selain dicirikan oleh pendapatan yang belum menapak ke middle class (menengah atas), kelompok middle low juga masih kesulitan menikmati akses pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial dan jaminan pekerjaan.
Baru 30,14% dari kelompok menengah bawah yang menamatkan SMA. Pendidikan yang rendah menyulitkan kelompok ini untuk naik kelas. Kemudian, hanya 7,9% rumah tangga dengan pendapatan menengah bawah yang memiliki jaminan hari tua, jaminan pensiun, pesangon, jaminan kecelakaan dan asuransi kantor. Selain itu, mayoritas kelas menengah bawah juga masih berkiprah di sektor informal.
"Sebanyak 68% kepala rumah tangga pada kelas menengah bawah adalah pekerja informal," tulis Dhiar N. Larasati dan Ranu Yulianto dalam publikasi riset BPS akhir tahun lalu.
Sektor informal cenderung tidak memiliki perlindungan sosial memadai dan tingkat upah serta kesejahteraan yang lebih rendah ketimbang sektor formal.
Dalam lanskap itu, kualitas hidup masyarakat kelas menengah bawah di Indonesia sejatinya masih rendah kendati dari sisi pendapatan sudah terlepas dari jerat kemiskinan.
Alih-alih naik kelas, kelompok menengah bawah di Indonesia mudah terdegradasi menjadi kelompok rentan dan miskin terutama ketika tidak ada kebijakan yang mampu membantu perbaikan kesejahteraan kelompok ini secara struktural.
Pemerintah mengakui kebijakan yang selama ini dijalankan masih belum memberi perhatian memadai bagi kelas menengah, terutama kelompok calon menengah alias kelas menengah bawah.
"Persoalan middle class ini adalah sesuatu yang memang kita perlu untuk terus mengkalibrasi policy-policy karena di dalam [kebijakan] fiskal fokusnya selama ini memang untuk [kelompok] bottom 20% [kebijakan] kita sudah relatif well established melalui PKH [Program Keluarga Harapan], sembako, BLT," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah forum diskusi publik, akhir tahun lalu.
Ia mengakui bahwa yang bisa dilakukan pemerintah adalah memastikan layanan publik bisa terjangkau dengan kualitas yang baik. Masalah infrastruktur, pendidikan, air bersih, listrik, internet hingga urusan sampah, menjadi isu-isu kelas menengah. "Mereka [kelas menengah] membutuhkan itu akan tetapi tidak memiliki daya beli yang sangat besar jadi harus tersedia, afforadable dan menuntut kualitas," jelas mantan pejabat tinggi Bank Dunia ini.
Kajian yang pernah dilansir oleh M. Afdi Nizar pada 2015 mencatat, sumbangan konsumsi kelas ini pada konsumsi rumah tangga nasional diprediksi sekitar 43% pada 2025. Dengan sumbangan yang besar, pelemahan konsumsi kelompok ini bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi mengingat konsumsi rumah tangga adalah motor utama PDB Indonesia dengan kontribusi mencapai 55% pada kuartal 1-2024.
Abaikan Kelas Menengah
Ada indikasi arah kebijakan pembangunan rezim Presiden Joko Widodo semakin abai pada kelas menengah, terutama pada periode kedua.
Mengacu pada Growth Incidence Curve, sebagaimana dikaji oleh Teguh Dartanto dan Canyon K. Can dari LPEM UI, menunjukkan, pembangunan ekonomi di Indonesia 2002-2022 hanya berat pada kelompok kaya. Satu dasawarsa terakhir juga menegaskan hal yang sama.
Pada era pemerintahan Jokowi periode pertama, kelas menengah masih menikmati pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kelompok termiskin dan terkaya sehingga angka Gini Ratio bisa diturunkan menjadi 0,380 pada 2019.
Namun, pada periode kedua Jokowi, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif di mana manfaat kebijakan atau program pemerintah terfokus hanya pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas.
Pada saat yang sama, kelompok kelas menengah yang proporsinya mencapai 40%-80% dilupakan. Bahkan, kelompok 60%-80% ini mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Dampaknya, tingkat ketimpangan makin melebar dengan Gini Ratio pada September 2022 naik jadi 0,381 dan semakin tinggi pada Maret 2023 menjadi 0,388.
Aneka pajak, berbagai iuran dan pungutan baru yang potensial membebani kelas menengah bisa menjadi boomerang ketika kelompok ini gagal diyakinkan bahwa kebijakan itu akan menguntungkan mereka. Alih-alih, kelas menengah terancam turun kelas, konsumsi melemah dan penerimaan negara ikut terdampak.
"Voice or Exit. Bila kelas menengah percaya bahwa pemerintah bekerja demi kepentingan mereka, maka mereka akan menyuarakan tuntutan dan setuju membayar pajak sebagai imbalan atas layanan yang lebih berkualitas. Sebaliknya, bila kelas menengah tidak percaya, mereka akan berusaha keluar dari layanan pemerintah dan perpajakan sehingga memicu kerugian besar bagi sebagian besar masyarakat miskin dan calon kelas menengah yang butuh layanan publik berkualitas," tulis Bank Dunia dalam laporan setebal 222 halaman bertajuk "Aspiring Indonesia Expanding the Middle Class yang dipublikasikan awal 2020 lalu.
(rui/aji)