Di samping itu, kata Luhut, Indonesia memiliki potensi pasokan 1 juta liter minyak jelantah setiap tahun, di mana 95% diekspor ke beberapa negara.
Menurut Luhut, pengembangan SAF penting untuk dilakukan Indonesia. Apalagi, data International Air Transport Association (IATA) memproyeksikan Indonesia akan menjadi pasar aviasi terbesar keempat di dunia dalam beberapa dekade ke depan, dengan asumsi kebutuhan bahan bakar ini mencapai 7.500 ton liter hingga 2030.
Selain itu, Luhut menggarisbawahi PT Pertamina (Persero) sudah melakukan uji coba statis yang sukses dari SAF untuk digunakan pada mesin jet CFM56-7B. “Hal ini membuktikan bahwa produk mereka layak digunakan pada pesawat komersil,” ujar Luhut.
Di lain sisi, pengembangan industri SAF juga bakal menciptakan nilai ekonomi melalui kapasitas produksi kilang-kilang biofuel Pertamina, diestimasikan bahwa penjualan SAF secara domestik dan ekspor dapat menciptakan keuntungan lebih dari Rp12 triliun per tahun.
Selanjutnya, pengembangan industri SAF juga akan menjadi pintu masuk investasi kilang biofuel lebih lanjut dari swasta maupun BUMN
“Seiring meningkatnya aktivitas penerbangan, emisi karbon yang dihasilkan juga akan terus bertambah. Oleh karena itu, intervensi untuk mengurangi emisi karbon menjadi penting,” ujar Luhut.
Dari berbagai data dan kajian, Luhut menyimpulkan SAF adalah solusi paling efektif untuk mewujudkan masa depan penerbangan yang ramah lingkungan di Indonesia.
Dengan demikian, Luhut melanjutkan, upaya menciptakan SAF bukan hanya menjadi inovasi semata, melainkan suatu komitmen dalam upaya mengurangi emisi karbon global.
(dov/wdh)