Logo Bloomberg Technoz

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBNKita awal pekan ini menggarisbawahi, situasi perekonomian global memang masih menyodorkan tantangan tidak kecil yang membawa dampak pada perekonomian RI. Penurunan penerimaan negara pada April hingga 7,6%, tidak bisa dilepaskan dari situasi global yang suram dan mempengaruhi setoran pajak dunia usaha.

"World economic order jadi tidak pasti, mengalami fragmentasi di mana itu dampaknya akan besar pada ekonomi global mulai dari rantai pasok, penerapan tarif empat kali lipat barang dari China untuk EV [electric vehicle]. Ketidakpastian tinggi dengan harga komoditas cenderung meningkat, sehingga inflasi sulit diturunkan. Likuiditas global masih ketat dan mempengaruhi nilai tukar di emerging market termasuk Indonesia," kata Sri Mulyani.

Berikut ini beberapa data ekonomi yang perlu dicermati:

Inflasi Pangan

Sri Mulyani menekankan kewaspadaan terhadap inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) yang masih tinggi di mana pada April lalu tercatat 9,63%. "Memang turun dibanding Maret tapi dari komponen ini lebih tinggi dibanding bulan lalu," kata mantan Direktur Bank Dunia ini.

Beberapa komoditas dapur utama orang Indonesia mencatat kenaikan yang luar biasa sepanjang tahun ini (year-to-date), seperti bawang merah (29,9%), telur (8,1%), bawang putih (12,9%), gula pasir (6,1%), daging ayam (6,5%), minyak goreng (5,4%) hingga daging sapi (0,2%). Sedangkan harga beras masih mencatat kenaikan 2,6% year-to-date

Transaksi di Pasar Tradisional (Dok. Unsplash)

"Ini dalam situasi pasca Idulfitri dan jelang Iduladha pada Juni nanti, ini tentu akan menyebabkan tekanan pada daya beli masyarakat," kata Sri Mulyani.

Harga pangan yang masih terus tinggi bisa menggerogoti daya beli masyarakat. Bila konsumsi rumah tangga terus melemah, hal itu bisa menyeret pertumbuhan ekonomi semakin turun terlebih bagi Indonesia belanja rumah tangga adalah motor utama ekonomi. Kontribusi belanja rumah tangga terhadap PDB mencapai 55%.

Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi

Pada kuartal 1-2024, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia memang masih baik, tumbuh  5,11% dibanding kuartal 1-2023. Namun, secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi RI mencatat kontraksi atau penurunan pertumbuhan sebesar 0,83% dibanding kuartal IV-2023.

Penyebabnya adalah penurunan pertumbuhan beberapa sektor usaha seperti sektor konstruksi yang mencatat penurunan -2,57%, lalu sektor jasa pendidikan yang minus 10,34%, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang turun -7,48%. 

Pertumbuhan ekonomi RI kuartal 1-2024 mencatat kontraksi secara kuartalan (Dok. BPS)

Sedangkan bila melihat sisi permintaan (aggregate demand), investasi (PMTB) juga mencatat kontraksi -4,84% setelah tumbuh 2,57% pada kuartal IV-2023. Kontraksi itu lebih dalam dibanding kuartal 1-2023 sebesar-3,72%. Hal yang sama terlihat untuk ekspor yang terkontraksi 6,26%, juga impor -4,11%. 

Adapun konsumsi rumah tangga yang berandil terbesar, mencatat perlambatan pertumbuhan di angka 0,64% setelah pada kuartal sebelumnya tumbuh 1,58%. Padahal, pada kuartal 1 lalu ada momentum Ramadan yang secara historis mengungkit belanja masyarakat.

Penjualan Ritel Melambat

Indeks Penjualan Riil (IPR) yang mencerminkan penjualan ritel/eceran tercatat hanya tumbuh 0,1% pada April, setelah melonjak 9,3% pada Maret seiring dimulainya musim perayaan Ramadan dan Idulfitri. Secara bulanan, kinerja penjualan riil diprediksi masih akan tumbuh 3,3%, melambat dibanding bulan sebelumnya di angka 9,9%.

Hasil Survei Penjualan Eceran yang dilansir oleh Bank Indonesia memperkirakan, penjualan ritel tiga dan enam bulan ke depan yakni pada Juni dan September, diprediksi melemah cukup tajam. Terindikasi dari Indeks Ekspektasi Penjualan yang turun jadi 127,5 dari 147,8 untuk Juni dan 140,4 dari tadinya 164,9 pada September.

Tabungan 'Receh' Turun

Lembaga Penjamin Simpanan mencatat, pada April lalu, nilai tabungan di rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta (tiering terendah), turun 0,7%. Sementara untuk rekening dengan nilai saldo di atas Rp100 juta, kesemuanya meningkat pada April. 

Ada indikasi penurunan nilai tabungan 'receh' itu terkait dengan pengeluaran yang memuncak seiring perayaan Idulfitri. Masyarakat memakai simpanan dana mereka di bank untuk menutup lonjakan konsumsi saat Lebaran.

Namun, perlu dicermati juga indikasi lain yaitu terjadinya fenomena 'mantab' alias makan tabungan terutama di konsumen kelas menengah.

Pembeli di pasar menghitung uang rupiah (Bloomberg)

Data yang dilacak oleh Bank Mandiri, memperlihatkan Mandiri Spending Index (MSI) kelas menengah menunjukkan penurunan indeks tabungan hingga di bawah 100 pada Mei. Penurunan berlangsung sejak November persis ketika lonjakan harga beras memuncak. Pada saat yang sama, indeks belanja turun tajam, kemungkinan dipengaruhi perayaan Lebaran yang usai.

Pengeluaran Dapur Mendominasi

Kajian Bank Mandiri lebih jauh juga mendapati, porsi belanja kebutuhan makan dan minuman (groceries) masyarakat Indonesia pada Mei setelah Lebaran berlalu, ternyata masih tinggi layaknya di tengah Ramadan dan Lebaran.

Pada Mei 2023, pengeluaran masyarakat untuk belanja di supermarket sebagai proxy belanja makanan dan minuman, mencapai 26,1%. Jauh lebih tinggi bahkan dibanding musim Ramadan-Lebaran tahun lalu di kisaran 18,6%.

Bila dibanding awal tahun 2023, porsi pengeluaran makanan baru memakan 13,9% penghasilan. Lonjakan harga beras dan kebutuhan dapur lain sepanjang 2023 yang masih berlanjut sampai saat ini, terlihat menguras pengeluaran rumah tangga. 

Pada akhirnya, ruang belanja untuk kebutuhan lain yang bisa ditunda (durable goods) seperti pakaian, sepatu, hingga otomotif, menjadi lebih sempit.

Ini yang bisa menjelaskan mengapa kinerja penjualan sepeda motor dan mobil yang buruk masih berlanjut. Pada April 2024, penjualan mobil baik ke dealer (wholesales) maupun ke end user (retail) anjlok ke level terburuk sejak pandemi Covid-19 berakhir. 

Sementara penjualan sepeda motor anjlok 28,2% dibanding Maret. Sedangkan dibandingkan April 2023, masih positif 18,3%.

Penerimaan Negara Turun

Penerimaan negara turun 7,6% year-on-year pada April 2024. Penurunan itu terutama akibat kelesuan penerimaan pajak dari badan usaha atau korporasi di mana Pajak Penghasilan (PPh) badan anjlok hingga 35,5%. Sementara setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga turun 13,9%.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri atas pembayaran dividen dan royalti dari BUMN dan industri sektor minyak dan gas juga turun 6,7% year-on-year.

Setoran pajak dari industri pengolahan juga turun 13,8% padahal industri ini menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak negara dalam empat bulan terakhir dengan persentase mencapai 26%.

Industri Padat Karya Melemah

Pada kuartal 1-2024, kinerja industri yang menyerap banyak tenaga kerja tercatat melemah. 

Industri pengolahan mencatat kontraksi secara kuartalan pada kuartal 1-2024, sebesar -0,35%. Kemudian sektor konstruksi yang juga terkontraksi -2,57%. Sedangkan sektor pertanian hanya tumbuh 0,01% dan secara tahunan terkontraksi -3,54%. Begitu juga sektor perdagangan yang cuma tumbuh 0,12%.

Pekerja tengah bekerja di pabrik otomotif. (Dok: Bloomberg)

Pelemahan sektor usaha yang menyerap tenaga kerja banyak ini bisa memicu lonjakan angka pengangguran. Data terakhir yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang, masih lebih tinggi dibanding masa prapandemi di 6,9 juta orang. Walau dibanding era pandemi yang sempat menyentuh 8,75 juta orang, angka itu sudah lebih baik.

Hanya saja, semakin banyak angkatan kerja yang masuk ke sektor informal di mana persentasenya mencapai 59,17% setara dengan 84,12 juta orang. Sedang di sektor formal hanya 58,05 juta orang.

(rui/aji)

No more pages