Logo Bloomberg Technoz

"Misal UMK-nya Rp3,5 juta, maka iuran Tapera sebulan sekitar Rp105.000/bulan. Seumpama harga rumah minimalis standar Rp250 jutaan, maka untuk bisa terkumpul Rp250 juta butuh waktu mengiur selama 2.400 bulan, setara dengan 200 tahun,” ujarnya.

Dengan kata lain, gaji yang diterima oleh pekerja swasta tersebut sebesar Rp3.395.000 per bulan. Gaji tersebut belum termasuk kedalam potongan wajib lainnya.

Angka itu belum termasuk tambahan pemotongan lainnya seperti potongan BPJS Kesehatan sebesar 1% (Rp35.000), BPJS JHT 2% (Rp35.000), BPJS JKK dan JKM 0,54% (Rp18.900), BPJS Jaminan Pensiun 1% (Rp35.000). Walhasil, total tambahan potongan menjadi Rp158.900

Jadi secara bersih, gaji yang diterima oleh pekerja swasta tersebut adalah Rp3.236.100, menurut Rustadi. Angka itu pun belum termasuk potongan lagi untuk pajak penghasilan (PPh) 21. 

Potongan Wajib Gaji Pekerja di Indonesia, Selain Tapera (Bloomberg Technoz/Arie Pratama)

Belum Waktunya

Perhitungan lain dilakukan oleh Presiden Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Dia berpendapat kondisi saat ini tidaklah tepat bagi program Tapera dijalankan dengan memotong upah buruh atau pekerja.

Menurut Said, sampai saat ini belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.

“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3% [dibayar pengusaha 0,5% dan dibayar buruh 2,5%] tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya.

Dia menggambarkan, upah rata-rata buruh Indonesia sekarang adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3% per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp105.000 per bulan atau Rp1,26 juta per tahun.

Dikarenakan Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12,6 juta—Rp25 juta.

“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp 12,6 juta atau Rp 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah,” kata Said.

“Jadi dengan iuran 3% yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” ujarnya.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar justru menekankan bahwa kebutuhan perumahan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu belum terakomodasi dalam UU Tapera.

Untuk itu, menurutnya, Pasal 7 ayat (2) UU Tapera menurutnya harus dimaknai oleh Pemerintah dengan memberi prioritas fasilitas perumahan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

"Pembiayaan perumahan rakyat miskin diberikan dengan skema PBI (Penerima Bantuan Iuran) seperti di Program JKN, dengan sumber pembiayaan dari Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang berasal dari APBN," kata Timboel.

"Saya mengusulkan agar Pemerintah dan DPR segera merevisi UU Tapera khususnya Pasal 7, 9 dan 18 dengan mengubah kewajiban bagi pekerja formal/BUMN/D menjadi kepesertaan sukarela. Pemerintah sebaiknya fokus saja untuk pemenuhan kebutuhan rumah untuk ASN dan Masyarakat mandiri termasuk Masyarakat miskin," pintanya.

(prc/wdh)

No more pages