Logo Bloomberg Technoz

Lalu, ayat (2) menyatakan Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi Peserta.

Pasal 9 Ayat (1) UU Tapera mengamanatkan Pekerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh pemberi Kerja. Dan Ayat (2) menyatakan Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) harus mendaftarkan dirinya sendiri kepada BP Tapera untuk menjadi peserta.

Selanjutnya, Pasal 18 ayat (1) menyatakan Pemberi Kerja wajib mernbayar Simpanan yang menjadi kewajibannya dan memungut Simpanan yang menjadi kewajiban Pekerjanya yang menjadi peserta. 

Berikutnya, ayat (2)menyatakan Pemberi Kerja wajib menyetorkan Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam rekening Peserta yang dikelola oleh Bank Kustodian.

“Tentunya keikutsertaan pekerja swasta/BUMN/BUMD dalam UU Tapera ini perlu mendapatkan beberapa kritik yang perlu disampaikan,” kata Timboel melalui catatannya yang dilansir Rabu (29/5/2024).

Ilustrasi perumahan. (Envato/ellinnur)


1. Jadi Peserta, Belum Tentu Dapat Manfaat

Kritik pertama, kata Timboel, sebagai amanat Pasal 7, 9 dan 18 UU Tapera, pekerja dan pengusaha diwajibkan ikut Tapera dengan membayar iuran 2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pengusaha, sebagaimana juga tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) PP No. 25/2020.

“Namun, pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera yaitu KPR [kredit pemilikan rumah], pembangunan rumah, dan perbaikan atau renovasi rumah,” terang Timboel.

Selain itu, Pasal 38 ayat (1b dan 1c) mensyaratkan pekerja yang mengikuti program ini termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan belum memiliki rumah.

Demikian juga ketentuan pada Pasal 39 ayat (2c) menyatakan pemberian manfaat berdasarkan tingkat kemendesakan kepemilikan rumah yang dinilai oleh BP Tapera, artinya BP Tapera akan menentukan juga akses peserta ke manfaat Tapera.

“[Dengan kata lain], akan ada pembatasan upah yang menjadi kriteria penerima manfaat Tapera sebagai kriteria golongan MBR. Jadi pekerja swasta/BUMN/D diwajibkan menjadi peserta Tapera, tetapi tidak mendapat manfaat seperti pekerja yang memiliki upah di atas kriteria MBR,” tegasnya.

Timboel —yang juga Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) — mencontohkan, kelompok masyarakat yang dimaksud dengan MBR adalah yang berpenghasilan maksimal Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan. Namun, untuk wilayah Papua dan Papua Barat, batasan tersebut cukup rancu.

Pekerja dengan upah di atas Rp8 juta dan di atas Rp10 juta untuk wilayah Papua dan Papua Barat, sebenarnya juga masih sulit mengakses pinjaman KPR untuk memiliki rumah, tetapi di Tapera tidak berhak mendapat manfaat Tapera.

Ilustrasi perumahan. (Envato/ biletskiy)


2. Imbal Hasil Tak Pasti

Kritik kedua, menurut Timboel, dana yang dipupuk di Tapera tidak mendapatkan kepastian imbal hasilnya, yang nanti ditentukan secara subyektif oleh BP Tapera.

“Hal ini berbeda dengan dana JHT [Jaminan Hari Tua] di BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya minimal sama dengan rata-rata deposito bank pemerintah. Selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan kepada peserta JHT adalah di atas 1%—2% di atas rata-rata suku bunga deposito pemerintah,” paparnya.

3. Tumpang Tindih dengan Program BPJS Ketenagakerjaan

Ketiga, saat ini sudah ada fasilitas perumahan bagi pekerja formal swasta dan BUMN/BUMD di BPJS Ketenagakerjaan yang diatur dalan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 17/2021 (junto Permenaker No. 35/2016) tentang Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan program JHT.

Layanan MLT dalam BPJS Ketenagakerjaan ini juga memberikan manfaat yang sama dengan UU Tapera yaitu KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah.

“Di Permenaker No. 17/2021, nilai besaran Program Uang Muka Perumahan yang diberikan kepada Peserta paling banyak sebesar Rp150 juta, untuk KPR paling banyak Rp500 juta, dan untuk renovasi paling banyak Rp200 juta,” jelas Timboel.

Selain MLT Perumahan, pekerja formal swasta/BUMN/D pun bisa menggunakan Pasal 37 ayat (3) UU SJSN untuk menggunakan paling banyak 30% dari saldo JHT-nya untuk perumahan, setelah menjadi peserta minimal 10 tahun.

“Jadi ada tumpang tindih antara MLT Perumahan [dan Pasal 37 UU SJSN] dengan UU Tapera. Oleh karenanya, maksimalkan saja MLT perumahan dan Pasal 37 UU SJSN untuk keperluan perumahan pekerja sehingga pekerja dan pengusaha swasta/BUMN/D tidak perlu lagi dibebani dengan wajib membayar iuran di Tapera,” ujarnya.

(Dok. BPJS Ketenagakerjaan)


Lebih lanjut, Timboel mengatakan ketentuan Permenaker No. 17/2021 harus diperbaiki khususnya tentang suku bunga yang dibayar peserta, yang disesuaikan dengan suku bunga di Tapera.

Di UU Tapera pun peserta yang mendapat manfaat Tapera harus juga membayar bunga pinjaman atas dana yang diberikan BP Tapera, yaitu sekitar 5% per tahun.

“Saya usul agar kewajiban kepesertaan pekerja swasta/BUMN/D diubah menjadi kepesertaan sukarela sehingga bila ada perusahaan swasta/BUMN/D yang ingin menjadi peserta Tapera ya diperbolehkan, tetapi bila perusahaan tidak mau menjadi peserta Tapera ya diperbolehkan juga, misalnya nanti dengan menggunakan MLT Perumahan dan Pasal 37 UU SJSN untuk kebutuhan perumahan bagi pekerjanya,” ujarnya.

4. Ganggu Arus Kas  Perusahaan

Kritik keempat, kewajiban membayar iuran Tapera 2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pengusaha akan mengganggu kebutuhan konsumsi buruh dan arus kas perusahaan.

“Kebutuhan rumah pekerja sebenarnya sudah bisa dijawab oleh program MLT Perumahan dan Pasal 37 UU SJSN, sehingga pekerja dan pengusaha tidak perlu lagi membayar iuran,” kata Timboel.

Ilustrasi Kemiskinan. (Dimas Ardian/Bloomberg)

5. Masyarakat Miskin Tak Terakomodasi

Kelima, menurut Timboel, kebutuhan perumahan Masyarakat miskin dan tidak mampu belum diakomodir dalam UU Tapera. Seharusnya, Pasal 7 ayat (2) UU Tapera dimaknai oleh pemerintah dengan juga memberi prioritas fasilitas perumahan bagi Masyarakat miskin dan tidak mampu.

“Pembiayaan perumahan rakyat miskin diberikan dengan skema PBI [Penerima Bantuan Iuran] seperti di Program JKN, dengan sumber pembiayaan dari dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan [FLPP] yang berasal dari APBN,” kata dia.

“Dari hal di atas, saya mengusulkan agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU Tapera khususnya Pasal 7, 9 dan 18 dengan mengubah kewajiban bagi pekerja formal/BUMN/BUMD menjadi kepesertaan sukarela,” lanjut Timboel.

Dia menambahkan pemerintah lebih baik fokus saja untuk pemenuhan kebutuhan rumah untuk ASN dan masyarakat mandiri termasuk masyarakat miskin. 

Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan juga dinilainya perlu merevisi Permenaker No. 17/2021 khususnya pada ketentuan suku bunga yang dikenakan pada pekerja yang mendapat manfaat perumahan.

(wdh)

No more pages