Pakar Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Heru Saharjo mengatakan, penghitungan kerugian lingkungan didasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 yaitu pembuktian secara saintifik adanya kerusakan lingkungan pada suatu wilayah.
Dia mengklaim beserta timnya melakukan legal sampling terhadap area tambang milik PT Timah Tbk dan sekitarnya. Sampling tersebut dilakukan pada beberapa titik di Bangka Belitung maupun Belitung Timur.
“Contohnya itu dari yang tersisa, hasil bongkaran [timah] mereka ke atas, kami ambil disaksikan penyidik termasuk vegetasi yang ada di atasnya dan itu satu lokasi tidak hanya satu titik,” tutur Bambang.
Bambang menyebut pihaknya melakukan sampling pada wilayah area presentasi dari wilayah area tambang timah yang sudah terbuka. Alhasil, dari perhitungan tersebut terungkap kawasan pengeboran tambang tidak hanya dilakukan di hutan produksi tetapi juga di kawasan hutan lindung bahkan ada dilakukan di taman nasional.
“Setelah dilakukan analisa laboratorium berdasarkan sampling yang diambil, maka dipastikan wilayah tersebut rusak. Dari situ kami tahu ada di kawasan hutan dan nonhutan,” ujar Bambang.
Untuk merekonstruksi kejadian tersebut, kata Bambang, pihaknya menggunakan citra satelit untuk mengetahui pergerakan pertambangan timah mulai dari 2015 hingga 2022. Dari situ, pihaknya menghitung luasan yang dilakukan penambang timah per tahunnya dengan citra satelit sehingga muncul kerugian keuangan negara sebesar Rp Rp271,069 triliun.
“Semua itu diukur. Tidak dikira-kira dan parameternya sudah jelas sehingga tidak ada potensial loss itu betul-betul total loss sehingga berdasarkan itu kami menghitung kerugian,” ucap Bambang.
Bambang menambahkan, terdapat tiga aspek kerugian yakni kerugian ekologi, pembangunan ekonomi yang rusak, dan pemulihan yang harus dilakukan PT Timah. Kerugian ekologis dan ekonomis seharusnya menjadi hak negara yang bisa didapatkan jika tidak terjadi kerusakan di wilayah tersebut.
“Akibat kerusakan yang terjadi maka itu harus dipulihkan. Kalau tidak dipulihkan tanggung jawab siapa. Apapun alasannya PT Timah Tbk harus bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi di lokasi tersebut. Kalau tidak dilakukan tanggung jawab itu menjadi beban negara,” jelas Bambang.
(mfd/frg)