Bloomberg Technoz, Jakarta - Fenomena yang marak disebut vibecession kini terjadi di Indonesia, yakni ketika persepsi masyarakat terhadap kondisi ekonomi bertolak belakang dengan data ekonomi yang tersedia.
Pemerintah kerap menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi Indonesia masih aman sesuai target nasional, dimana Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 5,11% pada kuartal 1-2024. Kenaikan harga-harga, atau inflasi, juga dianggap masih dalam batas proyeksi Bank Indonesia di level 3% pada April lalu.
Akan tetapi bila dicermati lebih dalam, pertumbuhan ekonomi RI secara kuartalan pada kuartal 1-2024 justru mencatat kontraksi sebesar 0,83% dibanding kuartal sebelumnya. Penyebabnya adalah penurunan pertumbuhan beberapa sektor usaha seperti sektor konstruksi yang mencatat penurunan -2,57%, lalu sektor jasa pendidikan yang minus 10,34%, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang turun -7,48%.

Selain itu, ada kondisi global yang masih tidak menentu hingga bisa memacu harga minyak dunia dan mengancam nilai tukar rupiah, ditambah potensi kenaikan ekspektasi inflasi akibat sinyalemen kenaikan harga barang-barang yang diatur pemerintah. Faktor-faktor ini meningkatkan tekanan terhadap kondisi keuangan negara.
"Ketegangan fiskal ini menandakan ada 'vibecession' dalam perekonomian," kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan analis Drewya Cinantyan dalam catatan yang dilansir, Selasa (28/5/2024).
Vibecession merupakan istilah yang mulai populer sejak 2022 dan menggambarkan adanya ketidaksinambungan antara perekonomian suatu negara dengan persepsi umum publik yang cenderung pesimistis.
Data menunjukkan, beberapa sektor penyerap tenaga kerja banyak (padat karya), seperti industri pengolahan juga mencatat kontraksi di kuartal satu tahun ini -0,35%, sedang sektor pertanian hanya tumbuh 0,01%, begitu juga sektor perdagangan yang cuma tumbuh 0,12%.
Pelemahan sektor usaha yang menyerap tenaga kerja banyak ini bisa memicu lonjakan angka pengangguran. Data terakhir yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang, masih lebih tinggi dibanding masa prapandemi di 6,9 juta orang.
Beberapa indikator ekonomi lain juga menimbulkan pesismisme di banyak kalangan, antara lain pendapatan negara yang merosot padahal belanja negara naik untuk membiayai berbagai program nasional, khususnya untuk periode pemerintahan baru di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto yang akan resmi menjabat bulan Oktober tahun ini.
Kelesuan sektor usaha yang terimbas turunnya harga komoditas global dan daya beli yang melemah menjadi faktor utama merosotnya pendapatan pemerintah. Pada saat yang sama, belanja negara tampak lebih agresif padahal laju pembiayaan bersih pemerintah tidak ekspansif di awal tahun. Hal itu memunculkan risiko 'penumpukan' kebutuhan pembiayaan belanja negara di semester dua yang besar (backloading).
Ini tercermin dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) alias utang yang baru mencapai 13,6% dari target sepanjang tahun ini. Rendahnya angka pembiayaan bersih itu terutama karena kebutuhan pembayaran bunga utang yang tinggi dan pembiayaan kembali (refinancing) utang jatuh tempo yang juga tinggi.
"Waspadai risiko pembiayaan dari 'backloading' penerbitan SBN yang mengimplikasikan akan ada tekanan fiskal lebih besar pada semester dua tahun ini bila bunga acuan kembali naik," kata Satria.
Resiko Global
Selain itu, ada ketidakpastian arah bunga acuan Amerika yang berpengaruh pada nilai tukar mata uang dunia. Ditambah ketegangan geopolitik Timur Tengah yang tidak juga reda. Ini bisa memicu lonjakan harga minyak dan pada akhirnya instabilitas nilai tukar rupiah.
Terlebih, belakangan makin banyak sinyalemen rencana kenaikan harga barang-barang yang diatur oleh pemerintah (administered price) yang dapat mengerek ekspektasi inflasi dan memicu kenaikan suku bunga acuan lanjutan oleh Bank Indonesia.
Dalam publikasi APBNKita awal pekan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan, penerimaan negara turun 7,6% year-on-year pada April 2024. Penurunan itu terutama akibat kelesuan penerimaan pajak dari badan usaha atau korporasi di mana Pajak Penghasilan (PPh) badan anjlok hingga 35,5%. Sementara setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga turun 13,9%.
Menkeu Sri Mulyani sebelum memulai Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Mei 2024. (Bloomberg Technoz/Azura Yumna)
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri atas pembayaran dividen dan royalti dari BUMN dan industri sektor minyak dan gas juga turun 6,7% year-on-year. Setoran pajak dari industri pengolahan juga turun 13,8% padahal industri ini menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak negara dalam empat bulan terakhir dengan persentase mencapai 26%.
Pada sisi belanja, pemerintah terlihat agresif dengan kenaikan hingga 11% terutama untuk pembayaran Tunjangan Hari Raya Idul Fitri (THR) para pegawai sipil negara (PNS). Tidak dipungkiri, stimulus itu cukup mengungkit pertumbuhan ekonomi kuartal 1 lalu berkat belanja masyarakat yang terdongkrak musim Lebaran.
Perlu dicermati juga belanja di sektor lain yang mempengaruhi sektor riil yang tidak terlihat. Pada April, belanja barang negara naik 30,3% terutama untuk pengadaan kebutuhan Pemilu yang mencapai Rp19,8 triliun. Lalu ada belanja alutista untuk Kementerian Pertahanan sebesar Rp11,3 triliun dan Kepolisian RI sebesar Rp9,5 triliun.
Untungnya, anggaran negara masih mencatat surplus Rp75,7 triliun meski penerimaan lesu. Pertanyaannya, sampai berapa lama?
Mengacu pada hasil Survei Konsumen terakhir yang dilansir oleh BI, ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan masih meningkat terindikasi dari Indeks Ekspektasi Konsumen per April yang naik ke zona optimistis di 136 dibanding Maret di 133,8.
Sementara bila melihat data lain seperti Mandiri Spending Index yang mengukur laju belanja dan tabungan per individu, terlihat ada tekanan terutama di kelompok menengah.
Indeks tabungan kelompok menengah, konsumen dengan rata-rata tabungan Rp1 juta hingga Rp10 juta, terlihat menurun hingga di bawah 100 pada Mei di mana terlihat laju penurunan telah berlangsung sejak November tahun lalu, persis ketika harga beras terbang tinggi. Pada saat yang sama, indeks belanja turun tajam setelah Lebaran berlalu.
Berbagai sinyalemen kenaikan harga barang yang diatur pemerintah (administered price), seperti harga minyak goreng bersubsidi, harga beras hingga tiket pesawat, dapat menaikkan ekspektasi inflasi.
Bila kebijakan itu benar-benar direalisasikan untuk mendongkrak keuangan negara, inflasi domestik bisa naik melampaui batas atas proyeksi bank sentral. Ujung-ujungnya BI rate kembali naik yang akan semakin menekan sektor riil. Kesemuanya bisa jadi lingkaran setan tak berujung yang perlu diwaspadai.
-- update pada data pertumbuhan ekonomi kuartal 1-2024 dan sektor usaha.
(rui/aji)