“Kondisi kekeringan ini saat musim kemarau akan mendominasi wilayah Indonesia sampai akhir bulan September," paparnya.
Hingga dasarian II Mei 2024, pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudera Pasifik menunjukkan indeks ENSO sebesar +0.21 atau dalam kondisi netral, ditambahkan Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan.
Indeks ENSO diprediksi akan terus netral sampai periode Juni-Juli 2024. Sedangkan pada periode Juli-Agustus-September 2024, ENSO Netral diprediksi akan beralih menuju fase La Nina lemah—bertahan hingga akhir tahun 2024.
“Fenomena La Nina lemah ini diprediksi tidak berdampak pada musim kemarau yang akan segera hadir. Sedangkan di Samudera Hindia, pemantauan suhu muka laut menunjukkan kondisi IOD Netral namun ada kecenderungan beralih ke fase IOD Positif,” tulis BMKG.
Ardhasena menyampaikan bahwa kondisi ini menjadi potensi curah hujan bulanan sangat rendah atau kurang dari 50mm per bulan. Kondisi tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mitigasi dan antisipasi dampak kekeringan.
Wilayah yang akan terpapar, lanjut Ardhasena, sebagian besar Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Bali dan Nusa Tenggara, sebagian Pulau Sulawesi, dan sebagian Maluku dan Papua.
Waspadai pula kemunculan beberapa hotspot awal di wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sehingga perlu perhatian khusus. Ini terekam dari hasil monitoring hotspot BMKG.
“Memperhatikan dinamika atmosfer jangka pendek terkini, masih terdapat jendela waktu yang sangat singkat yang bisa dimanfaatkan secara optimal sebelum memasuki periode pertengahan musim kemarau," ujarnya.
Dari seluruh data di atas BMKG memberikan sejumlah rekomendasi teknis yang bisa dilakukan sebagai langkah mitigasi dan antisipasi. Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca, Tri Handoko Seto memaparkan pentingnya penerapan teknologi modifikasi cuaca untuk pengisian waduk-waduk di daerah yang berpotensi mengalami kondisi kering saat kemarau. Kemudian modifikasi cuaca bertujuan membasahi dan menaikkan muka air tanah pada daerah yang rawan mengalami karhutla ataupun pada lahan gambut.
Seto menegaskan bahwa BMKG berharap agar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) serta Kementerian Pertanian (Kementan) bisa mengupayakan koneksitas jaringan irigasi dari waduk ke kawasan yang terdampak kekeringan benar-benar memadai.
Untuk pemda, BMKG merekomendasikan untuk dapat segera mengoptimalkan secara lebih masif upaya untuk memanen air hujan. Caranya pengisian tandon atau tampungan air, embung-embung, kolam-kolam retensi, sumur resapan, “seiring dengan upaya mitigasi dampak kejadian ekstrem hidrometeorologi basah yang sedang dilakukan,” papar Dwikorita.
Lebih lanjut, pada wilayah pertanian sebaiknya melakukan penyesuaian waktu dan pola tanam di tengah ancaman iklim kering pada wilayah terdampak. Badan pemantau cuaca ini kemudian akan berkoordinasi dengan kementerian teknis dan pimpinan daerah terdampak.
Dwikorita menegaskan perlu ada dorongan kesiagaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menghadapi kekeringan meteorologis. “Laporan kepada Presiden perihal kondisi iklim dan kesiap-siagaan kekeringan 2024 sudah kami sampaikan agar mendapat atensi khusus pemerintah sehingga risiko dan dampak yang ditimbulkan dapat diantisipasi dan diminimalisir sekecil mungkin,” pungkas dia.
(lav/wep)