Bloomberg Technoz, Jakarta - Momok inflasi yang mengikis daya beli masyarakat berpotensi kembali bangkit menyusul berbagai pernyataan dan rencana pemerintah yang mensinyalkan kenaikan harga berbagai barang dan jasa terkait hajat hidup orang banyak.
Yang terdekat adalah potensi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi yang selama ini ditahan oleh pemerintah sampai Juni, sampai kepastian hasil Pemilu Februari lalu jelas. Presiden RI Joko Widodo menyatakan, evaluasi akan dilakukan menimbang kemampuan fiskal negara apakah masih memungkinkan menahan harga atau tidak.
Pada saat yang sama, pemerintah juga menimbang menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng dan beras premium. Selain itu, ada pula usulan kenaikan batas atas harga tiket pesawat yang diusulkan oleh maskapai pelat merah Garuda Indonesia, dengan menggarisbawahi aturan batas atas saat ini sudah berlaku sejak 2019 sementara harga minyak dunia sudah melesat begitu juga harga dolar AS sudah lebih tinggi.
Harga barang-barang itu sebagian masuk dalam jenis harga barang yang diatur oleh pemerintah (administered price) di mana pergerakannya berimbas besar pada keseluruhan inflasi Indeks Harga Konsumen.

Selain itu, ada pula rencana pemerintah mulai membatasi BBM subsidi jenis Pertalite seperti tertuang dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2025. Juga, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai awal tahun depan.
"Jika pemerintah memutuskan menaikkan harga-harga tersebut, inflasi domestik akan melebihi batas atas target Bank Indonesia di 3,5%. Itu akan mendorong Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan agar inflasi tetap terkendali," kata Lionel Prayadi, Fixed Income & Macro Strategist Mega Capital Sekuritas, Rabu (29/5/2024).
Analis memperkirakan inflasi IHK bisa merangkak naik ke kisaran 5%-6% tahun ini apabila harga-harga yang diatur tersebut kompak naik dalam waktu dekat. Hal itu mendorong BI semakin memperketat moneter agar inflasi terkendali di mana itu dapat berimbas pada pelemahan dunia usaha dan daya beli masyarakat.
Inflasi IHK pada April lalu tercatat 0,25% month-to-month (mom) dan 3% secara tahunan (yoy) akibat lonjakan harga makanan dan minuman, juga pakaian serta alas kaki, seiring dengan memuncaknya musim perayaan Lebaran.
Inflasi administered price tercatat naik 0,62% mom dari bulan sebelumnya 0,08% mom terutama karena inflasi tarif angkutan udara dan angkutan antarkota seiring musim libur Idulfitri. Secara tahunan, inflasi administred price juga naik dari 1,39% pada Maret menjadi 1,54% pada April.

Pada April, ketika musim mudik memuncak, inflasi transportasi tercatat 1,33% yoy dan 0,93% terutama disumbang oleh tarif angkutan udara.
Sedangkan inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) di mana beras termasuk di dalamnya bersama cabai-cabaian dan bawang-bawangan, pada April lalu masih tinggi di angka 9,63% yoy meski secara bulanan mencatat deflasi berkat penurunan harga beras.
Harga beras dan minyak goreng
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan awal pekan ini memberi sinyalemen bahwa kenaikan HET minyak goreng dan beras adalah tak terhindarkan.
HET minyak goreng subsidi, Minyakita, dinilai sudah dua tahun bertahan di Rp14.000/liter dan sudah selayaknya naik ke kisaran Rp15.000-Rp15.500/liter. Kenaikan HET itu menyusul pergerakan harga riil minyak kelapa sawit mentah (CPO) di pasar global.

Sementara HET beras, Zulkifli tidak menegaskan secara gamblang. Namun, ia bilang, pemerintah akan menimbang keseimbangan harga di tingkat konsumen dan produsen (petani) melalui kebijakan tersebut.
Bila dinaikkan maka HET beras premium kemungkinan menjadi Rp14.900-Rp15.800/kg dari tadinya Rp13.900-Rp14.800/kg. Lalu HET beras medium, jenis beras terbanyak yang dikonsumsi rakyat Indonesia, naik menjadi Rp12.500-Rp13.500/kg dari semula Rp10.900-Rp11.800/kg.
Beras premium sempat langka sebelum Lebaran hingga sempat melonjakkan harga ke level termahal sepanjang sejarah perberasan Tanah Air di Rp18.000/kg pada Februari lalu.
Meski pada April lalu harga beras sudah lebih landai, turun 2,72% mom, namun secara tahunan masih melesat dengan kenaikan 15,9% yoy di tingkat eceran atau konsumen.
Tekanan fiskal
Defisit fiskal Indonesia diperkirakan akan meningkat bila pemerintah memutuskan menahan harga BBM bersubsidi di tengah pelemahan rupiah yang sudah menjebol level psikologis Rp16.000/US$, jauh di atas asumsi makro APBN 2024 yang ditetapkan di Rp15.000/US$.
Pada saat yang sama, ketegangan geopolitik di Timur Tengah dengan serangan Israel ke kamp pengungsi Palestina di Rafah, berpotensi mengerek harga minyak dunia makin tinggi. Indonesia memasang asumsi makro ICP (Indonesian Crude Price) di level US$82 per barel untuk APBN 2024.
Harga minyak jenis Brent, yang lebih dekat ke ICP, pernah menyentuh US$90,13 pada awal April lalu dan sepanjang tahun ini bergerak rata-rata di US$82,44 per barel.
"Defisit APBN kemungkinan naik bila harga BBM bersubsidi dipertahankan di tengah pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak dunia," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede seperti dilansir dari Bloomberg News.
Bila ICP bertahan di US$82 per barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di Rp16.000/US$, defisit fiskal bertambah US$3,8 miliar atau setara Rp62 triliun di mana itu 'masih nyaman' dan dapat ditahan oleh APBN, menurut Josua.

Sementara bila BBM dinaikkan, itu akan menaikkan ekspektasi inflasi dan memperlambat konsumsi sehingga bisa berdampak buruk pada masa awal pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Mengacu pada hasil survei Bank Indonesia terakhir yang dirilis 14 Mei lalu, ekspektasi inflasi harga umum pada Juni dan September tercatat menurun, lebih rendah dibanding Indeks Ekspektasi Harga pada survei sebelumnya.
Pembatasan Pertalite
Efisiensi subsidi energi dengan memperketat konsumsi BBM subsidi Pertalite sudah pasti akan berdampak luas pada harga secara umum mengingat jenis BBM ini adalah yang terbanyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Pengetatan Pertalite akan memaksa masyarakat beralih ke Pertamax yang lebih mahal dan mungkin akan dinaikkan harganya setelah Juni.
Tekanan fiskal bila rupiah terus melorot dan harga minyak melesat akibat tensi politik di Timur Tengah, bisa memaksa pemerintah menaikkan harga. Namun, harganya mungkin akan terlalu mahal terutama bagi stabilitas pemerintahan di masa transisi Oktober nanti.
Berkaca pada keputusan pemerintah mengerek harga BBM bersubsidi pada September 2022 lalu di mana inflasi terkerek hingga 6% dan mendorong BI menaikkan bunga acuan secara berturut-turut hingga ke level 5,75% pada Januari 2023.
-- update pada informasi HET beras.
(rui/roy)