Ketiga, diasumsikan tidak terdapat program konversi minyak tanah ke liquefied petroleum gas (LPG) di Wilayah Indonesia Timur (WIT) pada 2025. Keempat, pemberlakuan pencatatan subsidi tepat JBT dan JBKP.
Sekadar catatan, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melaporkan proyeksi rentang volume JBT dan JBKP pada 2025 adalah untuk minyak Solar 18,33—19,44 juta kl, minyak tanah 0,514—0,546 juta kl, dan Pertalite 31,33—33,23 juta kl.
Kepala BPH Migas Erika Retnowati mengatakan telah menyurati Direktur Jenderal Anggaran di Kementerian Keuangan pada 6 Februari 2024 tentang penyampaian parameter perhitungan subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 Kg serta kompensasi BBM untuk Penyusunan Outlook Tahun Anggaran 2024, RAPBN 2025, dan kerangka kerja anggaran jangka menengah (MTBF) 2026—2029.
Sementara, pemerintah memproyeksikan volume konsumsi Solar dan Pertalite bisa ditekan hingga 17,8 juta kl per tahun, berdasarkan simulasi pengendalian subsidi dan kompensasi atas Solar dan Pertalite yang dapat diterapkan dengan pengendalian kategori konsumen.
Hal ini terjadi karena arah kebijakan subsidi energi pada 2025 adalah penyaluran BBM bersubsidi dilakukan dengan disertai registrasi konsumen penggunanya.
Pemerintah bakal melanjutkan pemberian subsidi tetap untuk BBM Solar dan subsidi selisih harga untuk minyak tanah, disertai dengan pengendalian volume dan pengawasan atas golongan atau sektor-sektor yang berhak memanfaatkan.
“Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang dapat mengendalikan konsumsi BBM. Dengan pengendalian konsumen yang berkeadilan, diperkirakan dapat mengurangi volume konsumsi Solar dan Pertalite sebesar 17,8 juta kl per tahun,” tulis dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2025, dikutip Selasa (28/5/2024).
(dov/roy)