Sebelumnya, pemerintah sudah memastikan akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12% mulai 1 Januari 2025 nanti, demi menggenjot target setoran pajak hingga di kisaran 10,09%-10,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, demi menyokong beban belanja pemerintah tahun depan, beberapa langkah efisiensi juga akan ditempuh termasuk membatasi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seperti Pertalite dan menaikkan tarif listrik untuk pelanggan daya 3.500 VA ke atas. Langkah itu diyakini bisa membantu penghematan anggaran hingga Rp67,1 triliun tahun depan.
Penghematan itu dibutuhkan demi mendukung belanja negara yang semakin besar, seiring adanya program-program populis berbiaya mahal seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang sudah diinisiasi pemerintah Presiden Joko Widodo, dan program makan siang gratis -kini disebut makan bergizi- yang diusung oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Secara umum, RAPBN 2025 dirancang untuk mendukung program prioritas yaitu pembangunan infrastruktur termasuk untuk IKN (Rp404,2 triliun-Rp433,9 triliun), kesehatan (Rp191,5 triliun-Rp217,8 triliun), pendidikan (Rp708,2 triliun-Rp 741,7 triliun) dan perlindungan sosial (Rp496,9 triliun-Rp 513,0 triliun). Program makan siang masuk dalam perencanaan anggaran sektor pendidikan dan kesehatan. Total anggaran empat sektor itu antara Rp1.800,8 triliun hingga Rp1.906,4 triliun.
Sebagai perbandingan, dalam APBN 2024, sektor infrastruktur dianggarkan Rp423,4 triliun. Lalu, sektor kesehatan sebesar Rp187,5 triliun, sektor pendidikan Rp665 triliun dan sektor perlinsos sebesar Rp496,8 triliun. Total empat sektor itu memakan anggaran Rp1.772,7 triliun pada 2024. Dibanding dengan RAPBN 2025, ada potensi kenaikan sekitar Rp28,1 triliun sampai Rp133,7 triliun.
Selain efisiensi subsidi dan mengerek setoran pajak, pemerintah juga akan menambah utang. Defisit APBN 2025 ditetapkan sebesar 2,45%-2,82% dari Produk Domestik Bruto, lebih tinggi dibanding APBN 2024 yang hanya 2,29%. Selain itu, rasio utang ditetapkan pada kisaran 37,98% - 38,71% dari PDB.
Beban Rakyat Kian Berat
Berbagai program pembangunan yang memakan biaya besar di satu sisi mungkin dibutuhkan untuk menstimulasi perekonomian. Akan tetapi, di tengah pelemahan daya beli masyarakat yang semakin terlihat setahun terakhir, berbagai rencana menggenjot pendapatan negara itu bisa membuat keuangan mayoritas orang Indonesia semakin berat. Ketika daya beli terpukul, penjualan dunia usaha juga bisa terpengaruh dan menyeret pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan PPN jadi 12%, misalnya, akan berdampak pada kenaikan pengeluaran belanja masyarakat. Tanpa diimbangi peningkatan pendapatan, pengeluaran yang kian besar akibat beban pajak sama saja mengikis daya beli.
Studi yang pernah dilansir oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2021, dengan mengasumsikan single tariff PPN naik jadi 12,5%, konsumsi masyarakat bisa tergerus 3,32% akibat kenaikan harga barang dan jasa.
Upah masyarakat juga akan turun sekitar 5,86% karena harus menutup lonjakan kenaikan harga barang dan jasa. Permintaan yang melemah akan menyeret pertumbuhan ekonomi turun 0,11%. Dampak kenaikan PPN juga bisa menurunkan ekspor karena harga jual barang ekspor jadi lebih mahal.
Adapun efisiensi subsidi dan kompensasi energi melalui pembatasan Pertalite efeknya juga bisa panjang mengingat Pertalite adalah BBM yang menjadi tulang punggung, konsumsi utama masyarakat.
Ketika Pertalite sulit didapatkan dan akhirnya masyarakat beralih ke Pertamax yang nonsubsidi, misalnya, bisa membawa harga barang dan jasa ikut terkerek.
Konsumsi Lemah
Meski Lebaran telah berlalu, pengeluaran masyarakat masih besar terutama untuk pengeluaran makanan dan minuman. Data yang dilansir Mandiri Institute mencatat, pada Mei 2023, pengeluaran masyarakat untuk belanja di supermarket sebagai proxy aktivitas belanja makanan dan minuman, mencapai 26,1%. Jauh lebih tinggi bahkan dibanding musim Ramadan-Lebaran tahun lalu di kisaran 18,6%.
Bila dibanding awal 2023, porsi pengeluaran makanan baru memakan 13,9% penghasilan. Lonjakan harga beras dan kebutuhan dapur lain sepanjang 2023 yang masih berlanjut sampai saat ini, terlihat menguras pengeluaran masyarakat lebih banyak untuk kebutuhan dapur.
Makin dominannya pengeluaran tersedot untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman, pada akhirnya mempersempit ruang belanja kebutuhan lain yang bisa ditunda, seperti belanja pakaian (fashion), otomotif dan lain sebagainya.
"Ada lonjakan dua kali lipat [pengeluaran kebutuhan primer], sehingga untuk belanja secondary relatif terbatas. Ini yang akan berpengaruh pada kemampuan belanja barang non-primer," kata Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro.
Indikator Mandiri Spending Index (MSI) yang mengukur laju belanja tiap kelompok konsumen di Indonesia, mencatat, kelas menengah membukukan penurunan indeks MSI menjadi 122,2 pada Mei. Sedangkan pada saat yang sama, indeks tabungannya juga turun ke 94,2. Penurunan indeks tabungan kelas menengah, merujuk pada konsumen dengan nilai tabungan rata-rata Rp1 juta hingga Rp10 juta, sudah berlangsung sejak November tahun lalu.
Hal berbeda terjadi pada kelas bawah dan kelas atas. Konsumen kelas bawah, konsumen rata-rata dengan tabungan di bawah Rp1 juta, justru mencatat kenaikan indeks tabungan bersamaan dengan kenaikan konsumsi. Pengucuran bantuan sosial yang masif diduga telah membantu ketahanan kelas ini. Adapun kelas atas, konsumen dengan nilai tabungan di atas Rp10 juta, indeks tabungan masih naik ketika indeks belanjanya mulai turun setelah puncak perayaan Lebaran berakhir.
Setelah pesta komoditas berakhir, Indonesia akan sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga sebagai motor utama pertumbuhan. Ketika konsumsi rumah tangga semakin tertekan akibat pengeluaran yang makin menjulang, mulai dari kenaikan PPN, inflasi akibat pembatasan BBM, ditambah lagi berbagai potongan iuran baru yang menggerus pendapatan bersih, pertumbuhan ekonomi akhirnya terseret.
-- dengan bantuan laporan Azzura Yumna.
(rui/aji)