Logo Bloomberg Technoz

Adapun, jumlah Pertalite yang diujicobakan untuk dijual di Pertashop yang menjadi SPBU kompak tersebut mencapai sekitar 100.000 kiloliter (kl).

“Iya, kita cadangkan [100.000 kl], tetapi nanti tergantung masih ada [Pertashop] yang bisa memenuhi syarat [sebagai SPBU kompak] atau tidak. Sementara itu baru 10 [Pertashop] dari 29 yang kita tunjuk,”  tutur Erika.

Erika mengatakan 10 SPBU kompak tersebut sudah boleh menyalurkan Pertalite, dan BPH Migas pun telah menyiapkan kuota untuk masing-masing gerai. Namun, dalam waktu dekat baru ada 1 SPBU kompak eks Pertashop yang akan mulai menyalurkan Pertalite.

“[SPBU Kompak] yang sudah menyalurkan baru 1, nanti pada Juni,” tegasnya. 

Penyalur

Dia pun menjelaskan aturan penyalur JBKP diperuntukkan untuk kelompok konsumen pengguna, yang diwakili oleh perwakilan untuk mengurus pengambilan kuota BBM-nya.

“Perwakilan dari kelompok pengguna ini, seperti misal ada yang tinggal di pulau terpencil. Kasihan kalau satu-satu harus mengambil, nanti di sana bisa dibentuk subpenyalur untuk memudahkan mereka mendapatkan BBM bersubsidi,” terang Erika.

Gerai Pertashop./dok. Pertamina

PT Pertamina Patra Niaga, subholding commercial and trading PT Pertamina (Persero), sebelumnya mengatakan masih berkoordinasi dengan BPH Migas mengenai izin agar Pertashop atau 'SPBU Mini' dapat menjual Pertalite.

VP Corporate Communication Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan perseroan bakal mengikuti arahan BPH Migas sebagai regulator untuk menjual bensin yang ditopang oleh mekanisme kompensasi dari anggaran negara tersebut.

Dengan kata lain, dirinya belum bisa memastikan apakah pemerintah bakal mengizinkan Pertashop untuk menjual BBM seharga Rp10.000/liter itu.

“Itu masih kami koordinasikan dengan BPH Migas sebagai regulator. Jadi kalau nanti ditentukan oleh BPH Migas demikian, kami sebagai operator akan menjalankan sesuai penugasan dari BPH Migas,” ujar Irto saat ditemui di Jakarta Selatan, awal April.

Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif akhir tahun lalu memberi sinyal keberatan soal kemungkinan Pertashop menjual Pertalite. Dia menjelaskan jika Pertashop ikut menjual BBM jenis Pertalite, subsidi energi yang harus ditanggung pemerintah justru berisiko membengkak.

"Ini kan nanti bisa menambah subsidi lagi kan. Seharusnya dievaluasi lebih dalam lagi. Kalau enggak, ya jebol [anggaran kompensasi BBM-nya]," ujar Arifin saat ditemui di kantornya, Jumat (20/10/2023).

Alih-alih mengizinkan Pertashop menjual Pertalite, dia lebih menekankan pada proses pengawasan dalam penggunaan BBM agar tepat sasaran. "Supaya apa? supaya yang bisa beli Pertamax, belilah Pertamax. Jangan hijrah [ke Pertalite].”

Gerai Pertashop./dok. Pertamina


Pertashop sendiri merupakan distributor resmi BBM dan produk ritel nonsubsidi dari Pertamina Group. Adanya Pertashop ditujukan untuk mendekatkan produk energi ke konsumen akhir di perdesaan, yang selama ini belum terjangkau akses langsung ke lembaga penyalur resmi Pertamina.

Namun, SPBU Mini tersebut hanya diperbolehkan untuk menjual produk Petamina nonsubsidi, mulai dari Pertamax, LPG 12 kg, Bright Gas, dan produk ritel Pertamina lainnya.

Dalam sebuah audiensi di Komisi VII DPR RI Juli tahun lalu, pengusaha Pertashop melaporkan kerugian parah, seiring dengan makin tingginya disparitas harga antara Pertamax dan Pertalite.

Ketua Umum Perhimpunan Pertashop Merah Putih Indonesia H. Abdul Salam dan Ketua Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Gunadi Broto Sudarmo, dalam pernyataan bersamanya, mengatakan banyak pengusaha Pertashop di Indonesia yang gulung tikar di tengah margin yang terus melorot.

Menurut data kedua asosiasi tersebut, pada Januari—Maret 2022, rerata omzet per gerai Pertashop mencapai Rp34.0000—Rp38.000 per bulan dengan harga Pertamax Rp9.000/liter. Namun, kondisi tersebut berubah drastis sejak harga Pertamax mengalami penyesuaian per April 2022, terdampak fluktuasi harga minyak dunia akibat perang Rusia-Ukraina.

“Mulai April 2022, omzet langsung turun drastis. Dengan [Pertamax] harga Rp12.500/liter, omzet merosot jadi Rp16.000 per bulan, lalu berlanjut karena ada fluktuasi harga sampai Rp14.500/liter, ada yang Rp13.900/liter, dan sebagainya. Sampai sekarang di harga Rp12.500/liter, itu pun omzet Pertashop belum bisa kembali seperti saat harga Pertamax Rp9.000/liter dan Pertailte Rp6.750/liter,” ujar Gunadi.

Akibat selisih harga yang makin lebar antara Pertamax dan Pertalite, omzet Pertashop diklaim anjlok hingga 90% dan usaha tersebut diklaim tidak lagi menguntungkan.

Gunadi mengatakan dari 448 Pertashop; sebanyak 201 di antaranya merugi, terancam tutup, serta terancam disita asetnya lantaran tidak sanggup membayar angsuran bulanan ke bank yang bersangkutan.

“Akibat disparitas harga [yang makin lebar antara Pertamax dan Pertalite], nilai atau jumlah Pertashop dengan omzet kurang dari 200 liter per hari mencapai 47% [dari total gerai Pertashop di Indonesia],” tuturnya.

Dengan omzet hanya 200 liter per hari, laba kotor yang didapatkan per gerai Pertashop saat ini diklaim hanya Rp5,1 juta per bulan. 

Nilai tersebut belum termasuk beban gaji untuk dua operator minimal Rp4 juta per bulan, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), serta potensi losses sebesar 1%x6.000 liter per bulan.

“Jadi 47% teman-teman pengelola Pertashop yang punya omzet segitu bisa dibilang merugi. Ini belum untuk kewajiban ke bank,” terangnya.

Guna mengatasi masalah kerugian yang diderita pengusaha Pertashop, dia pun mendesak agar pengusaha Pertashop dibolehkan ikut menjual Pertalite.

Selain itu, asosiasi mendesak agar Peraturan Presiden No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak segera diterbitkan.

(wdh)

No more pages