Setelah masa yang relatif singkat sebagai koloni Belanda, Taiwan diperintah oleh dinasti Qing sebelum diserahkan ke Tokyo setelah Jepang memenangkan Perang China-Jepang Pertama.
Setelah Perang Dunia II, Jepang menyerah dan melepaskan kendali atas wilayah yang direbutnya dari China. Setelah itu, Taiwan secara resmi dianggap diduduki oleh Republik China (Republic of China/ROC) yang mulai memerintah dengan persetujuan sekutunya, AS dan Inggris.
Beberapa tahun kemudian, perang saudara pecah di China. Pasukan Chiang Kai-shek yang saat itu menjadi pemimpin dikalahkan oleh pasukan Komunis Mao Zedong.
Chiang, sisa-sisa pemerintahan Kuomintang (KMT) dan para pendukungnya - sekitar 1,5 juta orang - melarikan diri ke Taiwan pada 1949.
Chiang mendirikan kediktatoran yang memerintah Taiwan hingga tahun 1980-an. Setelah kematiannya, Taiwan memulai transisi menuju demokrasi dan mengadakan pemilihan umum pertamanya pada 1996.
Bagaimana Hubungan Taiwan dan China Sekarang?
Hubungan kedua negara mulai membaik pada 1980-an ketika Taiwan melonggarkan aturan kunjungan dan investasi ke China. Pada 1991, ROC secara resmi menyatakan perang dengan Republik Rakyat China (RRC) telah usai.
China kemudian mengusulkan opsi "satu negara, dua sistem". Opsi ini menjanjikan otonomi yang signifikan bagi Taiwan jika mereka setuju untuk berada di bawah kendali Beijing.
Sistem inilah yang menjadi dasar pengembalian Hong Kong ke China pada 1997 dan menjadi model awal bagaimana Hong Kong akan diatur. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Beijing terlihat semakin ingin memperkuat pengaruhnya di sana.
Taiwan menolak tawaran tersebut. Hal ini membuat Beijing bersikeras bahwa pemerintahan ROC di Taiwan tidak sah. Meskipun demikian, perwakilan tidak resmi dari kedua negara masih melakukan pembicaraan terbatas.
Pemilihan presiden Taiwan pada 2000 menjadi titik balik lainnya. terpilihnya Chen Shui-bian dari Partai Progresif Demokratik (DPP) yang secara terbuka mendukung "kemerdekaan" Taiwan membuat geram Beijing.
Setahun setelah terpilih kembali pada 2004, China mengeluarkan undang-undang anti-separatis. Undang-undang tersebut menyatakan hak China untuk menggunakan "cara non-damai" terhadap Taiwan jika mereka mencoba untuk "memisahkan diri" dari China.
Setelah Chen Shui-bian, Taiwan dipimpin oleh KMT yang lebih condong ke arah hubungan yang lebih dekat dengan RRC. Namun, pada 2016, Tsai Ing-wen dari DPP kembali terpilih menjadi presiden. Di bawah kepemimpinannya, hubungan lintas selat semakin memanas. China bahkan memutuskan komunikasi resmi dengan Taiwan karena penolakan Tsai Ing-wen untuk mendukung konsep "satu China".
Hingga saat ini, Tsai Ing-wen tidak pernah secara resmi menyatakan kemerdekaan Taiwan. Ia justru bersikeras bahwa Taiwan pada dasarnya sudah merdeka.
Namun, masa jabatan Tsai juga bertepatan dengan masa jabatan Xi Jinping, yang mana klaim China menjadi lebih agresif. Xi telah menekankan berkali-kali bahwa China "pasti akan bersatu kembali" dengan Taiwan, dan telah menetapkan tahun 2049 sebagai target untuk "mencapai impian China".
Pada Januari 2024, Taiwan memilih wakil presiden Tsai, William Lai, sebagai presiden. China menyebut presiden baru Taiwan sebagai "separatis".
Latihan militer pada pekan lalu dilakukan di pekan pertama masa jabatannya. Beijing mengatakan itu adalah "hukuman berat" atas "tindakan separatis", dan menyebut Lai sebagai presiden DPP "terburuk" sejauh ini.
Apa Peran AS dalam Hubungan Taiwan-China?
AS memiliki hubungan resmi dengan Beijing, dan mengakui Beijing sebagai satu-satunya pemerintah China di bawah "kebijakan Satu China". Namun, AS juga tetap menjadi pendukung internasional paling signifikan bagi Taiwan.
Washington secara hukum terikat untuk menyediakan senjata pertahanan kepada Taiwan, dan Presiden AS Joe Biden telah mengatakan bahwa AS akan mempertahankan Taiwan secara militer.
Taiwan telah lama menjadi salah satu masalah paling kontroversial dalam hubungan AS-China, dengan Beijing mengecam segala dukungan yang diberikan dari Washington untuk Taiwan. Pada 2022, setelah kunjungan ke Taiwan oleh Ketua DPR AS Nancy Pelosi, China menanggapi dengan unjuk kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka melakukan latihan militer di sekitar Taiwan sebagai bentuk pembalasan.
Di bawah Presiden Xi, China telah meningkatkan "perang zona abu-abu" ini. Mereka mengirim jet tempur China dalam jumlah besar mendekati Taiwan dan mengadakan latihan militer sebagai tanggapan atas pertukaran politik antara AS dan Taiwan. Pada 2022, serangan pesawat tempur China ke Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan meningkat hampir dua kali lipat.
Hasil pemilu AS akan menentukan jalannya hubungan AS-China. Siapapun yang keluar sebagai pemenang, akan memiliki dampak yang tak terhapuskan pada hubungan yang rumit antara AS, China, dan Taiwan.
(del)