“RUU ini kita dukung sekali tapi bukan mundur tapi harus maju karena RUU ini 17 tahun lalu sudah dibahas sampai sekarang belum selesai juga sudah masuk prolegnas bolak-balik gagal,” tutur Herik. Jika UU Penyiaran disahkan, seharusnya dibahas secara visioner hingga puluhana tahun ke depan.
Tidak hanya jurnalis, sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran juga berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, dan diskriminasi terhadap kelompok marginal. Kekangan ini akan berakibat pada memburuknya industri media dan memperparah kondisi kerja para buruh media dan pekerja kreatif di ranah digital.
Herik menegaskan, DPR sebelumnya belum pernah berdiskusi dengan dewan pers ataupun pihak terkait lainnya dalam pembahasan RUU penyiaran tersebut. Bahkan hingga saat ini, DPR tidak pernah mengajak diskusi terkait pembahasan pasal-pasal RUU Penyiaran yang akan diambil keputusannya pada 29 Mei 2024 dalam rapat Badan Legislasi DPR.
Gabungan organisasi pers tersebut menuntut DPR RI segera menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang mengandung pasal-pasal bermasalah ini. DPR RI harus melibatkan organisasi pers, akademisi, dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Mereka juga meminta untuk memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.
“Kami percaya bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu, kami akan terus mengawal proses legislasi ini dan siap melakukan aksi massa jika tuntutan kami tidak dipenuhi.”
Poin-poin penolakan
1. Ancaman Terhadap Kebebasan Pers: Pasal-pasal bermasalah dalam revisi ini memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia untuk mengatur konten media, yang dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan, seperti termuat pada draf pasal 8A huruf q, pasal 50B huruf c dan pasal 42 ayat 2.
2. Kebebasan Berekspresi Terancam: Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara, melalui rancangan sejumlah pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi.
3. Kriminalisasi Jurnalis: Adanya ancaman pidana bagi jurnalis yang melaporkan berita yang dianggap kontroversial merupakan bentuk kriminalisasi terhadap profesi jurnalis.
4. Independensi Media Terancam: Revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu, yang merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf pasal 51E.
5. Revisi UU Penyiaran Berpotensi Mengancam Keberlangsungan Lapangan Kerja Bagi Pekerja Kreatif: Munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya.
(mfd/frg)