Keberadaan Starlink, lanjut Hendri, dapat membuat bangkrut perusahaan nasional bidang telekomunikasi dan dimanfaatkan kelompok separatisme. Pasalnya jalur komunikasi tidak bisa dipantau oleh regulator.
Satelit LEO berbasis phased–array dengan antena langsung terhubung pada satelit yang mengorbit rendah. Berbeda dengan teknologi satelit tradisional Geostasioner (mengorbit pada ketinggian 35.900 km), semacam Palapa, Satria, atau satelit lain di luar Amerika Serikat (AS).
Starlink, sebuah perusahaan penyedia layanan jasa Internet milik Space Exploration Technologies Corporation (SpaceX), yang resmi beroperasi di Indonesia awal bulan ini dengan CEO Elon Musk sampai berkunjung di Bali pekan lalu.
Di sisi lain, Ketua Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha berpandangan bahwa Starlink telah memenuhi kewajiban atas seluruh persyaratan wajib sebelum berjualan 'paket internet', seperti izin penyelenggara layanan very small aperture terminal (VSAT), izin peladen layanan internet atau internet service provider (ISP) yang bekerja sama dengan salah satu penyedia akses jaringan atau network access provider (NAP). Atas dasar ini, maka Indonesia masih bisa menjaga kedaulatan data di Indonesia.
“Bahwa dari sisi spesifikasi teknis serta administrasi sudah memenuhi semua persyaratan yang ada, sehingga jika semua terpenuhi maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh Kominfo untuk melarang sebuah provider layanan VSAT seperti Starlink untuk beroperasi,” terang Pratama, dengan menambahkan bahwa Starlink juga telah meraih sertifikat Uji Laik Operasional (ULO).
Ia menambahkan bahwa izin operasi Starlink sebatas penyediaan jaringan tertutup melalui satelit sehingga ISP yang memiliki layanan melalui kabel serta radio tidak akan tersaingi. Kecuali pebisnis atau provider internet dengan layanan VSAT.
“Namun layanan VSAT yang ada saat ini pun sebagian besar dipergunakan untuk layanan ATM serta jaringan tertutup milik perusahaan, sehingga juga akan kecil kemungkinan untuk berpindah ke layanan Starlink,” kata Pratama.
Baca Juga: Starlink Banting Harga Berlangganan, Cukup Bayar Segini
Pengamat teknologi siber dan jaringan keamanan IT, Alfons Tanujaya justru mengkritik pihak yang skeptis dan khawatir pada kehadiran Starlink. Ia menolak adanya kebijakan proteksi pelaku bisnis telekomunikasi dalam negeri karena akan mematikan perkembangan teknologi itu sendiri.
Terlebih dna industri teknologi adalah menghadirkan layanan lebih mutakhir dan canggih dibandingkan sebelumnya. “Kalau tidak siap menghadapi kenyataan ini, mungkin ada baiknya perusahaan yang berteriak jangan bergerak di bidang IT dan Telco tetapi berdagang sembako saja,” ucap dia.
Menanggapi potensi keamanan data, Alfons menyebut, penyedia internet kabel optik juga punya ancaman serupa. Pasalnya fiber optic dalam lalu lintas data internet ke luar negeri juga melewati negara seperti Singapura dan Australia (fiber optic cable submarine).
“Ada yang bilang takut dimata-matai karena menggunakan Starlink, tetapi apakah Anda sadar kalau Anda menggunakan Whatsapp, Google Maps dan ponsel Android atau iPhone saja Anda sudah dengan sukarela dimata-matai? Kalau tidak dimata-matai oleh penguasa software Amerika Serikat, yah sama penguasa hardware China,” kata dia.
Ancaman penguasaan data dari Indonesia oleh Starlink juga telah Kominfo antisipasi dengan persyaratan penyediaan Network Operating Center (NOC) di Indonesia oleh PT SSI, ditegaskan oleh Menteri Budi Arie Setiadi. Pasalnya, internet satelit tidak memiliki batasan geografis seperti layanan berbasis tower telekomunikasi hingga mengancam kedaulatan data negara.
“Karena itulah maka secara teknis Starlink diwajibkan untuk memiliki NOC di Indonesia dan data komunikasi internet Indonesia hanya boleh disalurkan ke NOC tersebut,” papar Alfons.
“PT Starlink Indonesia juga telah memenuhi seluruh syarat perizinan penyelenggara termasuk dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk penyediaan NOC di wilayah Indonesia untuk pelaksanaan monitoring traffic, monitoring kualitas link, monitoring gangguan dan kendali traffic," pungkas Budi Arie.
Starlink bukan tanpa kelemahan. Sebagai penyedia akses pertukaran data berbasis satelit, faktor cuaca yang signifikan. Penghalangan antena, terlebih di area padat bangunan beton juga membuat jaringan internet Starlink tidak bisa maksimal. Faktor lain adalah harga, Starlink juga memiliki tarif berlangganan lebih tinggi dibandingkan provider internet tradisional.
Pratama meyakini bahwa Starlink hanya akan laku di wilayah yang belum terlayani jaringan internet, seperti pedesaan atau terpencil.
(fik/wep)