"Kenaikan harga BBM bisa mendorong pemudik mengurangi belanja barang atau jasa lain sehingga bisa berdampak negatif ke perekonomian secara keseluruhan, terlebih ini adalah mudik pertama pasca BBM naik dalam 8 tahun terakhir," komentar Dwi Widodo, Ekonom Samuel Asset Management.
Belum lagi kenaikan harga pangan terutama beras belakangan akan memaksa masyarakat menurunkan jatah belanja untuk kebutuhan lain.
Lebaran tahun ini banyak digadang sebagai momentum melejitkan lagi motor utama ekonomi domestik yaitu tingkat konsumsi masyarakat. Namun, itu akan menjadi pertaruhan dengan berbagai faktor pemberat tersebut.
Cuti Lebih lama = Aktivitas Belanja Lebih Lama?
Cuti bersama yang lebih panjang memang akan mengurangi aktivitas bisnis. Namun, menurut Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman, itu bisa dikompensasi dengan peningkatan aktivitas konsumsi masyarakat. Sehingga, dampak Lebaran terhadap pertumbuhan ekonomi, menurutnya, masih akan positif.
“Hitungan kami, dampak Ramadan dan Lebaran terhadap pertumbuhan ekonomi adalah dapat mendorong pertumbuhan sebesar 0,14-0,25 ppt,” jelas Faisal pada Bloomberg Technoz.
Selain itu, meski pemberian THR bagi ASN masih belum 100% seperti sebelum pandemi, cuti Lebaran yang lebih lama mungkin akan mendorong aktivitas belanja dan konsumsi lebih banyak juga, menurut Ekonom LPEM UI Teuku Riefky. “Walau misalnya kalau tukin ASN diberikan 100% seperti masa sebelum pandemi, tentu dampaknya terhadap peningkatan konsumsi masyarakat akan lebih signifikan juga,” katanya.
Inflasi juga secara umum dinilai sudah relatif terkendali ditambah tidak adanya pembatasan sosial pandemi akan membuat laju konsumsi masyarakat pada Lebaran tahun ini akan lebih baik dari Lebaran tahun lalu.
Tekanan inflasi secara historis selama festive seasons adalah sekitar 0,5%-0,7% secara bulanan dengan kontribusi inflasi pangan mencapai 0,4-0,5 ppt dan biaya transportasi sebesar 0,2-0,3 ppt. Untuk Maret, prediksi Faisal, inflasi akan terakselerasi sebesar 0,29% month-to-month dari 0,16% pada Februari lalu.
Adapun kenaikan harga BBM pada September lalu, menurut Faisal, sudah masuk dalam hitungan masyarakat untuk pengeluaran Lebaran tahun ini. “Selama tidak ada kenaikan BBM lagi saat Lebaran, tingkat konsumsi tidak akan terganggu,” jelasnya. Perkiraan ekonom, dampak lanjutan kenaikan BBM bersubsidi akan habis sama sekali pada separuh kedua tahun ini.
Inflasi Pangan Jadi Ancaman
Sebagian ekonom boleh menyebut inflasi terutama terkait dampak kenaikan BBM dan pengendalian harga pangan sudah cukup terkendali sehingga tidak mengancam daya beli. Namun, hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) yang dilansir beberapa waktu lalu terungkap, mayoritas masyarakat menilai pengendalian harga kebutuhan pokok masih menjadi PR besar pemerintah.
Sebanyak 36,9% dari responden yang disurvei menilai, pengendalian harga kebutuhan pokok adalah masalah utama yang mendesak diselesaikan oleh pemerintah.
Selain faktor musiman kedatangan Ramadan dan Lebaran yang mengerek berbagai harga kebutuhan pokok, tren kenaikan makanan pokok seperti beras sudah lebih dulu berlangsung. Harga beras terus naik kendati musim panen datang dan dukungan beras impor, dengan kenaikan 3,6% year-to-date dan 9,5% year-on-year.
"Konsumsi memang sedang dalam tahap pemulihan tapi belum akan kembeli ke level prapandemi."
Dwi Widodo, Ekonom Samuel Asset Management
Dampak lonjakan harga beras akan paling memukul rumah tangga berpendapatan rendah.
"[Pengeluaran] pangan menyumbang sebanyak 72% dari pengeluaran masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan yaitu yang berpengeluaran Rp 535.000 per bulan, di mana pengeluaran untuk beras menyumbang 19%," jelas Satria.
Inflasi pangan terutama beras yang justru naik lebih tinggi dari historikal Idul Fitri, menurut Satria, akan menghambat pemulihan konsumsi domestik. Laju konsumsi yang sudah melambat di kisaran 4,5% pada kuartal IV-2022 diprediksi akan berlanjut hingga semester 1-2023 dengan adanya dampak lanjutan [lagging] dari pengetatan moneter dan dampak inflasi pangan. Pada kuartal 1-2023, ekonom memprediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,4% year-on-year.
Dengan berbagai gambaran yang menjadi latar belakang Lebaran 2023 ini, menurut Dwi, konsumsi domestik memang sedang dalam tahap pemulihan tapi belum akan kembali ke level pra pandemi.
"Untuk konsumsi bisa kembali seperti prapandemi, dibutuhkan level daya beli yang setidaknya sama. Berkaca dari data simpanan-pinjaman rumah tangga sayangnya itu belum sepenuhnya pulih alias tambahan simpanan rumah tangga lebih kecil daripada tambahan pinjamannya."
Ditambah minimnya kenaikan upah selama pandemi padahal harga barang dan jasa terus mengalami kenaikan. "Dengan demikian, menurut saya konsumsi masyarakat memang sedang dalam tahap pemulihan tapi belum akan kembeli ke level prapandemi. Kami prediksi pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,7%-5,3% tahun ini," jelas Dwi.
(rui/aji)