Di tingkat regional, kebutuhan pendanaan untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) antaranggota Association of Southeast Asian Nations (Asean) ditaksir mencapai US$ 27 miliar. Namun, sepanjang 2016—2021, negara-negara Asia Tenggara baru bisa mendatangkan investasi US$ 8 miliar per tahun alias kurang dari sepertiga target.
“Ini mengapa Indonesia mengusung isu 'iklim dan ekonomi berkelanjutan' sebagai pilar ketiga Asean Summit 2023. Ini adalah isu yang sangat penting,” tegas Perry.
Untuk itu, dia mengatakan BI mengusulkan tiga jalan menuju pendanaan transisi energi bagi Asean. Pertama, kemauan politik yang kuat dari otoritas masing-masing negara. Kedua, kerangka kerja yang jelas terkait dengan pendanaan sektor EBT. Ketiga, mobilisasi instansi keuangan agar mau mendanai proyek-proyek transisi energi di kawasan.
“Di [poin ketiga] sinilah peran bank sentral diutamakan. Dalam hal ini, BI telah menerbitkan sejumlah kebijakan makroprudensial untuk menarik pendanaan transisi energi. Termasuk dengan memberikan sejumlah insentif seperti 100% loan to value (LTV) bagi perbankan yang mendanai proyek-proyek transisi energi,” sebut Perry.
Terkait dengan isu permodalan tersebut, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengutarakan instansinya telah mendapatkan komitmen dari instansi keuangan regional, internasional, maupun global untuk mendukung pendanaan pensiun dini pembangkit batu bara di Indonesia.
Namun, dia enggan mengungkapkan siapa saja calon investor baru tersebut, berikut nilai komitmen investasi yang mereka tawarkan.
"Kalau Anda melihat daftar proyek prioritas yang sudah diterbitkan ke publik oleh perusahaan-perusahaan energi, sebenarnya itu menjadi indikasi dari proyek atau komitmen investasi yang akan masuk [ke transisi energi]," ujarnya dalam konferensi pers Financing Transition in ASEAN di Nusa Dua, Bali, Kamis (30/3/2023).
(wdh/evs)