Bloomberg Technoz, Jakarta – Pemerintah disarankan untuk menjaga tingkat inflasi serta tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) di level moderat untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah pada 2025, di tengah sinyal kenaikan tarif listrik 3500 volt ampere (VA).
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai penyesuaian tarif listrik merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan, menyusul adanya asumsi kenaikan dari komponen yang digunakan untuk mempertimbangkan tarif listrik seperti harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude-oil Price (ICP) dan nilai tukar rupiah.
Sekadar catatan, asumsi ICP dipatok pada level US$75/barel—US$85/barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan berada di rentang Rp15.300—Rp16.000 dalam Kerangka Ekonomi makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) RAPBN 2025.
Sementara itu, asumsi ICP dipatok pada level US$82/barel dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan berada pada level Rp15.000/dolar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Dalam kaitan itu, Tauhid melihat terdapat peluang rupiah terhadap dolar AS bakal sedikit melemah di atas Rp16.000/dolar ada 2025.
Menurutnya, terdapat keseimbangan baru pada nilai tukar rupiah sejak krisis di Timur Tengah, sehingga diproyeksikan rupiah bakal sulit untuk kembali bertengger pada level di bawah Rp16.000 terhadap dolar AS.
“Kalau melihat bahwa tahun depan ada probabilitas nilai tukar melemah, maka saya lihat memang sulit dihindari bahwa kenaikan [listrik] itu terjadi. Namun, menurut saya, tidak besar penyesuaiannya, harusnya dengan perkiraan-perkiraan itu tidak terlalu signifikan sih [penyesuaiannya],” ujar Tauhid saat dihubungi, dikutip Jumat (24/5/2024).
Tauhid juga setuju bahwa pelanggan dengan 3500 VA masuk ke dalam golongan menengah atas yang tidak berhak mendapatkan bantuan sosial.
Namun, menurutnya, pemerintah tentu bisa berupaya untuk tetap menjaga daya beli —khususnya masyarakat kelas menengah— dengan menjaga inflasi dalam tingkat yang rendah.
“Kalau inflasi rendah bukan kenaikan listriknya ya, tetapi justru di pangan atau volatile food. Memang administered price melalui listrik itu ada, tetapi pangan yang seharusnya bisa dikendalikan ketimbang listrik,” ujar Tauhid.
Sebagai catatan, inflasi dalam dokumen KEM PPKF Tahun 2025 diperkirakan dapat dikendalikan pada kisaran 1,5%—3,5%.
Seiring dengan itu, Tauhid melihat pemerintah juga perlu menjaga tingkat BI Rate dalam level yang moderat.

Tauhid menggarisbawahi suku bunga merupakan instrumen untuk mendorong konsumsi. BI Rate yang tinggi bakal mendorong kenaikan bunga kredit bank. Sehingga, masyarakat menahan diri untuk membeli barang melalui kredit.
“Suku bunga BI ratenya bisa lebih rendah, sehingga bisa mendorong perekonomian melalui jalur kredit dan itu jelas akan membantu kelas menengah,” ujar Tauhid.
“Sekarang kan [BI Rate] 6,25% ya, saya kira akan berharap di bawah 6% [untuk 2025], akan bisa mencapai 5% aja alhamdulillah, kan bertahap begitu ya.”
Selain itu, Tauhid mengatakan bahwa pemerintah bisa memberikan fasilitas tambahan untuk skema jaminan sosial, seperti melalui skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan sebagainya, kepada masyarakat kelas menengah.
Untuk diketahui, pemerintah memiliki rencana melakukan penyesuaian tarif listrik atau tariff adjustment untuk pelanggan nonsubsidi, seperti untuk golongan rumah tangga kaya dengan 3500 VA ke atas dan golongan pemerintah dalam arah kebijakan subsidi energi pada 2025.
Pemerintah menilai pelanggan listrik dengan daya 3500 VA ke atas merupakan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Dengan demikian, memberikan kompensasi kepada golongan tarif ini dinilai sangat bertentangan dalam dengan prinsip distribusi APBN.
“Sehingga sudah sewajarnya tarif untuk golongan pelanggan ini dapat disesuaikan,” papar Kementerian Keuangan melalui dokumen KEM PPKF Tahun 2025, dilansir awal pekan ini.
Pemerintah menilai kebijakan penyesuaian tarif untuk pelanggan rumah tangga 3500 VA ke atas dan golongan pemerintah ini relatif mudah diimplementasikan, sebagaimana telah dilakukan pada 2022 dengan dampak sosial dan ekonomi yang kecil dan terkendali.
(dov/wdh)