Akan tetapi, menurut Eliza, realitasnya harga gabah di level petani justru anjlok dari rata-rata Rp7.000/kg GKP menjadi Rp5.000/kg—Rp.5.500/kg.
Komoditas Oligopoli
Di sisi lain, Eliza juga mengkritisi keadaan struktur pasar komoditas pertanian yang cenderung oligopsoni di tingkat petani dan oligopoli di tahapan selanjutnya, sehingga menyebabkan salah satu pihak memiliki keunggulan dalam pengambilan keputusan, termasuk soal harga.
"Sehingga distribusi ini menentukan harga, karena yang menyalurkan produk pertanian ini kan middle man [perantara]. Meski secara stok aman, kalau distribusinya enggak lancar, ya harganya tinggi secara artifisal," terangnya.
Eliza juga menyoroti adanya anomali dalam pergerakan harga beras. Jika berdasarkan teori permintaan dan penawaran, harga beras seharusnya stabil atau malah turun jika pasokan aman setelah panen raya.
"Namun, hal yang terjadi, terkadang stok aman tersedia belum tentu di konsumen ada karena ada mayoritas stok yang dikendalikan pedagang besar. Inilah yang menentukan harga [beras di pasaran]."
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menyebut instansinya tengah menyiapkan skema kebijakan yang terbaik terhadap HET beras premium. "Kita siapkan yang terbaik," kata Arif ketika dikonfirmasi oleh Bloomberg Technoz.
Menurut Arief, kebijakan kenaikan HET beras juga harus turut memperhatikan berbagai pihak termasuk petani dan masyarakat.
Sekadar catatan, Bapanas belum lama ini memperpanjang relaksasi HET Beras hingga 31 Mei 2024. Semula, kebijakan tersebut hanya berlaku kurang lebih satu bulan sejak Maret 2024 dan berakhir di April 2024.
Perpanjangan HET ini disebut bertujuan dalam menjaga stok beras di pasar ritel modern maupun tradisional. Dengan demikian, HET beras premium naik dari Rp13.900/kg menjadi Rp14.900/kg.
(prc/wdh)