Logo Bloomberg Technoz

Perusahaan dua tahun lalu mendapatkan Izin Hak Labuh (NGSO) Starlink di Indonesia dari Kementerian Kominfo, disusul meraih izin penyelenggara layanan Very Small Aperture Terminal (VSAT), serta izin Internet Service Provider (ISP) yang bekerjasama dengan salah satu Network Access Provider/NAP) di Indonesia.

Seluruh lisensi Starlink Indonesia dipastikan telah perusahaan raih pada awal bulan Mei, sebagaimana disampaikan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah kesempatan. Luhut berharap Starlink Indonesia mampu menyediakan layanan broadband alternatif dari satelit–satelit SpaceX, selain pelaku jasa internet yang ada saat ini.

Starlink Dianggap Diberi 'Karpet Merah'

Di tengah riuh rilisnya layanan internet satelit Starlink, muncul kekhawatiran bahwa Starlink Indonesia menjadi investor spesial Indonesia. Terlebih, layanan internet satelit perusahaan dikhawatirkan menggerus pemain lama.

Menteri Kominfo Budi Arie memastikan bahwa dengan janji internet cepat hingga 300 Mbps, Starlink akan didorong pengembangannya di wilayah non perkotaan atau Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), “yang belum ada akses internet.”

Starlink, lanjut Budi Arie, juga tidak cocok dipakai di perkotaan. Internet satelit juga berbiaya tinggi sehingga akan kalah bersaing dengan provider broadband fiber optic atau operator seluler. “Masak di Jakarta pakai satelit,” jelas Budi Arie. “Jangan membayangkan pelayanan Starlink di Jakarta, nggak mungkin dia kompetitif. Jakarta kan pakai fiber, wireless kencang.”

Budi Arie menambahkan bahwa kehadiran Starlink telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Starlink Indonesia punya kesetaraan dengan pelaku jasa lain, bahwa perusahaan “harus tetap comply dengan aturan kita.” Urusan persaingan layanan, termasuk klasifikasi harga, tentu dikembalikan ke mekanisme pasar.

“Harga biar urusan market,” terang Budi Arie. “[Penawaran ritel Starlink] iya, kalau B2B [Business to Business] sudah sama Telkomsat.”

Heru Sutadi Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute sekaligus pengamat teknologi turut mengingatkan bagaimana pentingnya peran pemerintah tetap menghadirkan iklim bisnis yang sehat, tidak hanya condong ke salah satu pelaku jasa internet.

Di sisi lain penting juga tetap menjaga persaingan secara fair namun tidak mengarah ke perang harga atau predatory pricing. “Sehingga ini tetap kita pantau agar semua penyelenggara jasa internet, operator seluler. tetap dapat memberikan layanan, tidak kemudian mati karena ada predatory pricing,” jelas Heru.

Pengamat teknologi siber dan jaringan keamanan IT, Alfons Tanujaya, menambahkan bahwa kehadiran Starlink justru akan meningkatkan daya kompetisi pelaku industri dalam negeri. Tidak boleh ada anggapan proteksi pelaku dalam negeri karena akan mematikan perkembangan teknologi itu sendiri.

“Dalam dunia teknologi Telco dan IT kanibal teknologi lama oleh teknologi baru memang terjadi. Setiap kali muncul teknologi lama menggantikan teknologi baru, maka teknologi lama akan dikanibal oleh teknologi baru yang muncul. Ini memang merupakan sifat dari dunia teknologi yang selalu disempurnakan,” jelas Alfons.

Bagi dia bahwa pikiran proteksionisme berlebihan berujung kerugian besar. “Kalau tidak siap menghadapi kenyataan ini, mungkin ada baiknya perusahaan yang berteriak jangan bergerak di bidang IT dan Telco tetapi berdagang sembako saja.”

Ketua Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha berpandangan bahwa selama Starlink telah memenuhi seluruh persyarakat tidak ada alasan untuk menghalangi investasi asing di bidang teknologi telekomunikasi.

“Karena persyaratan yang diminta oleh Kominfo baik untuk keperluan menjaga persaingan bisnis jasa internet di Indonesia, juga karena dengan dipenuhinya persyaratan tersebut [izin layanan/penyelenggaraan VSAT, ISP, satelit bumi, dan bermitra dengan NSP di Indonesia] maka Pemerintah Indonesia masih akan bisa menjaga kedaulatan data di Indonesia,” jelas Pratama.

(fik/wep)

No more pages