Logo Bloomberg Technoz

BI memperkirakan, NPI tahun ini akan terjaga defisitnya di level rendah di kisaran 0,1%-0,9% dari Produk Domestik Bruto. Sedangkan Transaksi Modal dan Finansial diprediksi masih akan surplus tahun ini seiring meredanya ketidakpastian pasar global, persepsi modal asing yang membaik terhadap aset-aset di pasar domestik serta imbal hasil investasi yang menarik. 

Andalkan 'Hot Money'

Keyakinan BI bahwa kebijakan saat ini sudah cukup memadai dan fundamental rupiah akan terus mendapatkan dukungan terutama dari aliran arus masuk modal asing, tidak bisa dilepaskan dari langkah bank sentral yang semakin agresif mengimingi global fund dengan bunga tinggi melampaui suku bunga kebijakan.

Sebagai gambaran, instrumen penampung hot money, dana asing jangka pendek, terbaru dari Thamrin yang disebut Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sempat memberikan tingkat bunga diskonto hingga 7,53% untuk tenor 12 bulan, jauh di atas level BI rate di 6,25%.

Dalam lelang terakhir 17 Mei lalu, bunga SRBI diberikan masing-masing di kisaran 7,29% (6 bulan), lalu 7,38% (9 bulan) dan 7,48% (12 bulan). Jauh lebih tinggi dibanding surat utang pemerintah (SBN) tenor 3 bulan dan 12 bulan masing-masing di 6,60% dan 6,89%.

Dengan imbalan tinggi, SRBI berhasil menarik peningkatan minat investor dengan kini outstanding mencapai Rp508,41 triliun di mana investor asing menguasai 28,1% atau setara Rp142,9 triliun. Angka itu jauh meningkat dibanding bulan sebelumnya di mana proporsi asing baru sekitar 18,8%.

Posisi cadangan devisa pada April 2024 anjlok semakin dalam (Bloomberg)

Mengandalkan SRBI untuk menarik modal asing dengan bunga jauh di atas policy rate, menuai kritikan dari para ekonom karena dikhawatirkan akan memicu instabilitas rupiah akibat tersandera hot money, juga akan membatasi fleksibilitas kebijakan bank sentral dalam jangka panjang. 

Pasalnya, pada saat yang sama, BI juga terus menumpuk kepemilikan SBN hingga saat ini keluar sebagai penguasa obligasi pemerintah terbesar di pasar sekunder. Data Kementerian Keuangan mencatat per 20 Mei 2024, BI menguasai 22,94% dari total SBN yang beredar di pasar sekunder, setara dengan kepemilikan bersih Rp1.311,02 triliun, jauh lebih besar dibanding kepemilikan perbankan dan institusi swasta lain seperti industri asuransi, dana pensiun dan mutual fund.

Bunga tinggi SRBI di tengah kepemilikan SBN yang sudah begitu besar, sebagian merupakan dampak dari skema burden sharing saat pandemi 2020, bukanlah tanpa biaya. Beban operasional BI pada 2022 sudah melonjak mencapai Rp23 triliun dibandingkan Rp4,4 triliun pada 2020. Ditambah rilis SRBI dengan bunga yang tinggi akan membengkakkan biaya moneter dan memicu defisit anggaran BI tahun ini menjadi Rp29,3 triliun, dari proyeksi surplus neraca tahun 2023 sebesar Rp27,2 triliun.

Defisit neraca bank sentral bisa menurunkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter di mana dalam skenario terburuk yaitu ketika rasio modal terhadap kewajiban moneter terus mengecil hingga di bawah 3%, negara harus turun tangan melalui suntikan modal tambahan ke bank sentral.

Selain itu, bunga tinggi SRBI juga dapat mempengaruhi likuiditas di pasar di mana bunga SBN bisa ikut terkerek dan bisa berdampak pada cost of fund atau biaya utang pemerintah menjadi lebih mahal.

Pada sisi lain, kendati kini skema burden sharing telah berakhir, kepemilikan SBN oleh bank sentral nyatanya malah semakin besar. Perry menjelaskan, pembelian SBN oleh bank sentral pada dasarnya adalah bagian dari sinergi bank sentral bersama-sama Kementerian Keuangan menstabilkan nilai tukar rupiah.

"Kami beli [SBN] bila terjadi outflow karena [outflow] berdampak pada kenaikan yield yang berlebihan. Kalau sekarang, ya, tidak perlu [membeli SBN]. Jadi itu bagian dari koordinasi dengan Kementerian Keuangan, begitu juga mengenai SRBI ataupun yang berkaitan dengan pembelian SBN di pasar sekunder," kata Perry.

Menurut ekonom, berakhirnya skema burden sharing seharusnya membuat BI mengurangi sedikit demi sedikit eksposurnya di SBN. Hanya saja, dengan risiko pelemahan yang masih dihadapi oleh rupiah, menjual SBN tidak bisa begitu saja dilakukan bank sentral karena akan menyeret nilai tukar rupiah juga. "Akhirnya, BI kini seperti tersandera, maju kena mundur kena," kata Ekonom Centre of Economic and Law Studies Bhima Yudistira.

"Seharusnya setelah berakhir [skema burden sharing], proporsi SBN milik BI turun. Bila ini dilanjutkan, bisa-bisa pemerintah semakin agresif menerbitkan SBN 'toh ada BI sebagai standby buyer. Disiplin fiskal pemerintah jadi melemah, dan BI seperti berada di bawah 'ketiak' pemerintah," imbuh Bhima.

Masih Naik Lagi

Analisis Bahana Sekuritas memperkirakan, BI masih akan menaikkan lagi BI rate tahun ini meski sinyal dovish berulang ditegaskan oleh Perry. 

"BI kemungkinan besar mempertahankan kebijakannya dan kemungkinan menaikkan bunga lagi dalam dua bulan ke depan," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas, sebelum pengumuman BI rate hari ini.

Prediksi itu keluar menimbang risiko tekanan pelemahan mata uang Asia masih terbuka terutama karena ada gelagat China akan berupaya mendevaluasi yuan untuk mengimbangi dampak tarif AS terhadap kinerja ekspornya.

Selain itu, Amerika diprediksi akan semakin agresif menambah utang jelang pemilihan umum pada November nanti dan bisa menambah bobot ketidakpastian atas prospek bunga The Fed.

Pengamatan terhadap sektor industri kelapa sawit juga mempengaruhi prospek rupiah. "Sektor ini adalah pemasok dolar terbesar di Indonesia karena para eksportir seringkali harus mengkonversi devisanya untuk membayar upah para pekerja. Produksi CPO lebih tinggi baik di Malaysia dan Indonesia bisa membawa harga minyak kelapa sawit melemah dan arus masuk devisa ikut turun," jelas Satria.

(rui/aji)

No more pages