“Sedangkan dengan kondisi lapangan kita yang sudah mature, kita membutuhkan investasi tambahan untuk bisa meningkatkan, tidak hanya mengerem penurunannya, tetapi bisa meningkatkan produksinya,” ujar Moshe saat dihubungi, Rabu (22/5/2024).
“Masalahnya, [produksi] sudah tidak semurah dahulu lagi. Kenapa? Karena lapangan sudah tua, jadi harus mengebor lebih dalam lagi, harus mencari lebih dalam lagi, harus [beralih] dari onshore mulai mencari di offshore dari barat harus mulai mencari ke timur dan sebagainya.”
Peluang Tersisa
Dalam kaitan itu, Moshe pun menilai, Indonesia tetap memiliki peluang untuk menaikan produksi minyak nasional, salah satunya melalui EOR.
Untuk diketahui, EOR merupakan salah satu metode pengurasan lapangan minyak tahap tersier yang dilakukan dengan menginjeksikan bahan kimia tertentu (polimer atau surfaktan-polimer) secara berpola dari sumur injeksi untuk mengubah karakteristik fluida dan batuan reservoir, sehingga dapat melepaskan minyak yang terikat di batuan agar dapat mengalir ke sumur produksi.
Metode ini diimplementasikan di Lapangan Minas setelah secara maksimal memproduksikan minyak menggunakan metode pengurasan primer serta sekunder (waterflood).
Upaya lain yang dapat ditempuh adalah melakukan eksplorasi masif untuk menemukan cadangan-cadangan minyak yang besar.
Moshe tidak menampik produksi minyak bakal meningkat dengan proyek Banyu Urip Infill Clastic (BUID) di Lapangan Banyu Urip dan sebagian proyek Geng North yang bakal onstream pada periode 2026—2027.
Namun, Moshe pesimistis target lifting minyak 1 juta barel per hari (bph), walaupun sudah ditunda 2—3 tahun dari rencana awal pada 2030, bakal tercapai.
“Target 1 juta bph apakah akan benar tercapai? Saya rasa sulit ya. Kenapa? Karena kalau mau 2033 sudah tercapai, dari sekarang harusnya sudah mulai naik. Tidak nunggu nanti 2027 atau 2026 nanti,” ujarnya.
Dengan demikian, Moshe menilai, PT Pertamina (Persero) sebagai pemegang 70% produksi minyak di Indonesia harus bisa lebih fleksibel dalam melakukan kerja sama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau dengan investor lain.
“Pertamina itu tidak bakal bisa sendiri. Ini bebannya luar biasa betulnya. Pertamina harus butuh inventor, harus bisa bermitra, harus bisa lebih fleksibel lagi untuk partnership dengan KKKS yang lainnya atau investor lainnya. Harus bisa mengalah sedikit untuk mereka bisa mendorong kerja sama tersebut,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan lifting minyak berada pada rentang 580.000—601.000 bph dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) RAPBN 2025. Sementara itu, lifting gas diproyeksikan berada pada rentang 1.004 hingga 1.047 barel setara minyak per hari (bsmph).
“Lifting minyak bumi 580.000—601.000 barel per hari dan lifting gas 1.004—1.047 ribu barel setara minyak per hari,” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR ke-17, Senin (20/5/2024).
Proyeksi lifting minyak makin turun dari asumsi dasar ekonomi makro yang termaktub dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang dipatok sebesar 635.000 bph. Proyeksi ini juga sekaligus makin menjauhi target 1 juta bph.
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan target produksi siap jual atau lifting minyak Indonesia sebanyak 1 juta barel pada 2030 dipastikan mundur selama 2 hingga 3 tahun.
(dov/wdh)