“Untuk memastikan upaya pengendalian konsumsi berhasil dilakukan, maka diperlukan sinergi dan koordinasi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah maupun instansi terkait lainnya,” tulis dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2025, dikutip Rabu (22/5/2024).
Melalui dokumen tersebut, pemerintah menyoroti subsidi dan kompensasi dalam Solar dan Pertalite mayoritas dinikmati oleh rumah tangga kaya. Di sisi lain, polusi udara yang bersumber dari gas buang kendaraan menduduki posisi teratas sekitar 32%—57%.
“Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang dapat mengendalikan konsumsi BBM. Dengan pengendalian konsumen yang berkeadilan, diperkirakan dapat mengurangi volume konsumsi Solar dan Pertalite sebesar 17,8 juta kl per tahun.”
Adapun, anggaran subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp551,2 triliun pada 2022 dan Rp369,8 triliun pada 2023.
Sementara itu, realisasi subsidi energi sampai dengan kuartal I-2024 sejumlah Rp27,9 triliun atau 14,75% terhadap keseluruhan subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar Rp189,1 triliun.
Realisasi tersebut meliputi subsidi BBM sebesar Rp3,3 triliun, subsidi liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 kg sebesar Rp13,2 triliun dan subsidi listrik mencapai Rp11,4 triliun.
Sebelumnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengatakan penyelesaian revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak —atau awam disebut aturan pembatasan Pertalite— berpotensi mundur dari target Juni 2024.
Kepala BPH Migas Erika Retnowati mengatakan hal ini terjadi karena masih terdapat poin-poin dalam beleid tersebut yang harus dibahas oleh kementerian/lembaga (k/l) terkait.
“Kalau Juni mungkin belum ya, karena masih ada beberapa hal yang harus dibahas bersama. Saya belum bisa memperkirakan karena keputusannya di Menteri Koordinator Bidang Perekonomian [Airlangga Hartarto],” ujar Erika saat ditemui di ICE BSD, Selasa (14/5/2024).
Adapun, salah satu pembahasan dalam revisi beleid tersebut adalah kriteria konsumen yang berhak untuk menerima BBM Pertamina jenis Solar dan Pertalite. “Ya betul, fokusnya kan ke sana [kriteria konsumen],” ujar Erika.
Terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan beleid tersebut nantinya mengatur kategori kendaraan yang bakal diatur untuk mengakses BBM jenis Pertalite dan Solar.
Sebagai gambarannya, pemerintah bakal membatasi pembelian Solar hanya untuk kendaraan yang mengangkut bahan pangan, bahan pokok dan angkutan umum. Hal ini dilakukan agar masyarakat umum tidak terbebani karena jenis angkutan umum tersebut tetap menggunakan solar yang disubsidi pemerintah.
“Revisi Perpres No. 191/2014 dilakukan agar alokasi BBM tepat sasaran, itu semuanya kan harus tepat sasaran. Kalau tidak, pemerintah rugi dan yang menikmati adalah orang yang tidak tepat,” ujar Arifin.
(dov/wdh)