Ia menilai, beberapa program pemerintahan yang berpotensi melebarkan defisit tersebut ditargetkan untuk menciptakan konsumsi yang berkelanjutan. Namun, ia tetap menilai defisit fiskal yang rendah dapat menjaga posisi utang luar negeri RI.
“Tentu saja, akan lebih baik jika fiskal yang lebih ketat atau bahkan defisit yang lebih rendah. Sehingga Kementerian Keuangan tidak perlu, semacam menerbitkan banyak lelang utang dan harus mengejar investor asing di seluruh dunia untuk membeli obligasi,” ucapnya.
Selain itu, Taimur juga membandingkan kondisi defisit fiskal beberapa negara maju dan berkembang, menurutnya defisit anggaran yang dimiliki RI masih dalam tahapan yang aman dibandingkan beberapa negara di dunia.
“Sebagian besar negara di dunia saat ini sedang mendiskusikan defisit PDB sebesar 5%, 6%, 8%. Dan sebagian besar negara di dunia sedang membicarakan rasio utang terhadap PDB sebesar 100% atau lebih. Sedangkan di Indonesia, kami merasa gelisah dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 35% - 40% dari PDB,” pungkas Taimur.
Sebagai informasi, target defisit fiskal sebesar 2,45% - 2,82% terhadap PDB dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pidato penyampaian dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) APBN 2025 pada Rapat Paripurna DPR RI, Senin (20/5/2024).
Menurut Bendahara Negara, besaran persentase defisit tersebut sejalan dengan belanja negara yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas belanja dengan target pada kisaran 14,59% - 15,18% terhadap PDB.
Lebih lanjut, ia menjelaskan upaya untuk menutup defisit tersebut dengan mendorong pembiayaan yang inovatif, prudent, dan berkelanjutan. Dengan mengupayakan beberapa hal seperti, rasio utang ditetapkan pada kisaran 37,98% - 38,71% terhadap PDB.
Adapun, Presiden Terpilih Prabowo Subianto memiliki beberapa program unggulan yang dikhawatirkan melebarkan defisit fiskal RI. Yakni, program makan siang dan susu gratis, hal ini seperti yang disampaikan oleh Direktur CELIOS Bhima Yudhistira.
Perhitungan Bhima defisit akan berkisar di level 3%-3,2% terhadap produk domestik bruto (PDB). Untuk itu perlu ada relokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Potensi membutuhkan perhatian pemerintah yang akan datang.
“Jadi ini yang harus dipikirkan kembali, jangan sampai program-program populis itu justru menjadi hambatan dan membuat defisit fiskalnya melebar,” ujar Bhima.
(azr/lav)