Ia mengatakan bahwa permasalahan tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, contohnya China sudah terlebih dahulu dihadapkan permasalahan para lulusan Perguruan Tinggi yang sulit mencari pekerjaan, begitu juga dengan India.
Terkhusus bagi RI, ia menilai sektor ekonomi yang dimiliki Tanah Air masih belum siap untuk memberikan pekerjaan yang bersifat permanen, bagi para angkatan kerja usia muda yang gemar bekerja di sektor informal dengan fleksibilitas tinggi.
Dengan begitu, ia memandang perlu adanya perbaikan baik dari sisi lapangan pekerjaan dan juga kecakapan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia. Sebab, saat ini sangat banyak pekerjaan di sektor informal yang sangat berkaitan dengan teknologi.
“Sektor-sektor kita gak bisa lagi hanya sektor yang bekerja dengan labour intensive. Karena kalau labour intensive yang harus bekerja dengan mereka itu gak cocok, itu harus menyesuaikan,” ujarnya.
Sebagai tambahan, berdasarkan hasil Survei Konsumen Maret yang dirilis Bank Indonesia akhir April lalu, terlihat bila lulusan pascasarjana atau S2 menjadi kelompok konsumen yang mencatat penurunan Indeks Keyakinan Konsumen terdalam.
Indeks Ekspektasi Konsumen yang mengukur tingkat keyakinan terhadap kondisi ekonomi enam bulan mendatang dibanding saat ini, untuk kelompok pascasarjana, anjlok hingga 20,4 poin.
Penyebab utama adalah karena kalangan ini tidak yakin akan ada cukup lapangan kerja di masa mendatang dicerminkan oleh penurunan Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja yang ambles sangat dalam sampai 36,7 poin pada Maret. Sedang pada saat yang sama, indeks tersebut turun single digit di kelompok konsumen dengan tingkat pendidikan lebih rendah.
Konsumen dengan pendidikan akhir pascasarjana di Indonesia juga tidak yakin kegiatan usaha di masa mendatang akan lebih baik. Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha kelompok ini turun 17,5 poin dibandingkan kelompok pendidikan lebih rendah yang hanya turun lebih kecil.
(azr/lav)