Dalam kaitan itu, Eniya menggarisbawahi hidrogen merupakan energi sekunder (secondary energy), di mana energi dihasilkan dari bahan baku tertentu dan membutuhkan listrik dalam proses pembuatan.
Maka, listrik yang digunakan harus memiliki harga yang kompetitif untuk menghasilkan harga hidrogen yang murah. “Listrik kalau didapatkan dengan cara yang mahal, ya pasti hidrogen jadi mahal. Namun harus berupaya dengan menemukan listrik yang paling murah.”
Alternatif Listrik
Listrik yang berasal dari fotovoltaik, atau teknologi yang digunakan untuk mengkonversi radiasi matahari menjadi energi listrik, saat ini masih mahal.
Eniya mengatakan harga listrik dari fotovoltaik bakal lebih kompetitif pada 2030, sehingga harga hidrogen juga menjadi lebih murah.
Namun, untuk saat ini, harga listrik paling murah dihasilkan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berasal dari bendungan-bendungan lama dan sudah mengalami depresiasi. Walhasil, harga listrik yang dihasilkan menjadi lebih murah.
Selain itu, harga listrik yang murah juga berpotensi dihasilkan dari geothermal. Meskipun harganya saat ini mahal, kata Eniya, tetapi listrik yang dihasilkan berpotensi menjadi lebih murah karena Indonesia memiliki potensi panas bumi yang besar.
“Geothermal itu potensi Indonesia sangat banyak sekali, karena kita punya ring of fire, semua sumber panas di dalam tanah air kita itu banyak banget kan,” ujar Eniya.
Namun, Eniya tidak menampik bahwa investasi geothermal saat ini tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan karena sumber geothermal jauh dari sumber permintaan yang membutuhkan banyak listrik seperti di kota-kota besar.
Dengan demikian, Eniya selalu mendorong para investor untuk mengubah cara pandang ihwal investasi panas bumi di Indonesia. Misalnya, investor dapat membangun 1 pabrik yang menghasilkan ragam produk. Dengan demikian, sisa listrik yang tidak terpakai bisa dialihkan untuk membuat hidrogen.
“Dia [investor] bisa menjual hidrogen, bisa menjual listriknya ke penghuni di situ, terus bisa mengirimkan [mentransportasikan]. Memang mungkin ini tidak semua geothermal, bisa cari geothermal yang dekat pantai, bisa kirim gitu ya. Memang studi seperti itu diperlukan untuk kita menentukan ini layak tidak sih untuk dibangun geothermal begini,” ujar Eniya.
“Nah, sekarang sudah mulai ada lagi bangun geothermal, ditambah satu produk lagi. Ada pasir silika yang bisa dihasilkan dari steamnya. Jadi, geothermal akan menjadi tidak mahal lagi.”
Sebelumnya, PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) mengatakan masih terdapat kesenjangan dari harga bahan bakar minyak (BBM) seperti Pertamax Turbo dengan bahan bakar berbasis hidrogen atau fuel cell electric vehicle (FCEV).
Adapun, harga dari Pertamax Turbo di dispenser adalah Rp1.440/km. Sementara itu, harga untuk hidrogen pada 2025 diproyeksikan sebesar Rp6.940/km. Harga ini diproyeksikan bakal turun hingga Rp2.988/km pada 2025—2030 dan Rp2.158/km selepas 2030.
Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekosistem dari kendaraan berbasis hidrogen atau FCEV, khususnya yang dibangun Pertamina.
VP Strategy & Portfolio Pertamina NRE Aditya Dewobroto mengatakan diperlukan upaya mitigasi untuk membuat harga bahan bakar hidrogen setara dengan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Jadi memang ada gap yang perlu kita mitigasi, sehingga ada potensi penggunaan oleh masyarakat luas bisa tercapai,” ujar Aditya dalam seminar Menggali Potensi Besar dan Masa Depan Mobil Hidrogen, medio pekan lalu.
Aditya mengatakan, kontributor yang menyumbang harga hidrogen adalah belanja operasioanal atau operating expenditure (opex) sebesar 21,7%, yang salah satunya termasuk biaya transportasi, bahan baku (feedstock) H2 40% dan belanja modal atau capital expenditure sebesar 38,1%.
“Salah satu challenge adalah mendekatkan sumber demand dengan source dari renewable source karena salah satu komponen biaya yang drive harga hidrogen adalah transportasi selain dari capex,” ujar Adiya.
(dov/wdh)