Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Konsumsi kelas menengah di Indonesia semakin terbenam lonjakan pengeluaran kebutuhan primer seperti makanan, membuat ruang belanja untuk kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian, sepatu sampai sepeda motor dan mobil semakin tersisih.

Inflasi harga pangan yang fantastis setahun terakhir, perlahan tapi pasti menggerogoti kemampuan belanja masyarakat Indonesia sehingga memicu fenomena 'mantab' alias makan tabungan di mana konsumen memakai simpanan uang mereka di bank untuk menutup pengeluaran hidup sehari-hari.

Di tengah pengetatan moneter yang diprediksi semakin panjang, terindikasi dari kenaikan BI rate menjadi 6,25% pada April lalu, juga inflasi harga pangan yang belum jinak, ada kekhawatiran perekonomian domestik semakin terseret lemah. Terlebih, sinyal resesi ekonomi belum sepenuhnya padam dalam konteks perekonomian global di tengah rezim suku bunga tinggi yang masih bertahan lebih lama, melonjakkan imbal hasil surat utang ketika permintaan minyak dunia melemah. 

Data terbaru yang dilansir oleh Mandiri Institute memperlihatkan, kondisi keuangan masyarakat kelas menengah di Indonesia, terutama kelas menengah bawah, semakin habis terkuras pengeluaran untuk kebutuhan primer seperti makanan dan minuman. 

Warga berbelanja di salah satu pasar swalayan di Tangerang Selatan, Jumat (8/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Porsi belanja masyarakat Indonesia pada Mei, setelah puncak musim perayaan berlalu, ternyata masih tinggi layaknya di tengah Ramadan dan Lebaran. Pada Mei 2024, pengeluaran masyarakat untuk belanja di supermarket sebagai proxy aktivitas belanja makanan dan minuman, mencapai 26,1%. Jauh lebih tinggi bahkan dibanding musim Ramadan-Lebaran tahun lalu di kisaran 18,6%.

Bila dibanding awal tahun 2023, porsi pengeluaran makanan baru memakan 13,9% penghasilan. Lonjakan harga beras dan kebutuhan dapur lain sepanjang 2023 yang masih berlanjut sampai saat ini, terlihat menguras pengeluaran kelas menengah di Indonesia.

Sebagai gambaran, harga beras sempat memecah rekor kenaikan tertinggi pada November 2023 dengan lonjakan hingga 18% dan berlanjut memperbarui rekor lagi pada Februari ketika harga makanan pokok itu 'terbang' tinggi menjebol Rp18.000 per kilogram, tertinggi dalam sejarah perberasan di Indonesia.

Pola konsumsi orang Indonesia semakin defensif, sinyal tekanan daya beli (Dok. OCE Group Bank Mandiri)

Tekanan harga pangan yang termasuk kebutuhan pokok itu pada akhirnya mempersempit ruang bagi belanja kebutuhan lain yang bisa ditunda, seperti belanja pakaian (fashion), otomotif dan lain sebagainya.

"Ada lonjakan dua kali lipat [pengeluaran kebutuhan primer], sehingga untuk belanja secondary relatif terbatas. Ini yang akan berpengaruh pada kemampuan belanja barang non-primer," kata Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam acara Asian Development Outlook 2024 Discussion pekan lalu di Jakarta.

Mengacu pada indikator Mandiri Spending Index yang mengukur laju belanja dan tabungan per individu, pada kelompok menengah (konsumen dengan rata-rata tabungan Rp1 juta hingga Rp10 juta), terlihat bahwa indeks tabungan kelompok ini menurun hingga di bawah 100 pada Mei di mana terlihat laju penurunan telah berlangsung sejak November tahun lalu, persis ketika harga beras terbang tinggi.

Kelas menengah di Indonesia mulai tertekan pengeluaran primer (Dok. OCE Group Bank Mandiri)

Pada saat yang sama, indeks belanja turun tajam setelah Lebaran berlalu. Hal berbeda terjadi di kelas bawah dan kelas atas. Pada kelas ekonomi bawah yakni konsumen dengan rata-rata tabungan di bawah Rp1 juta, terlihat bahwa indeks tabungan mencatat peningkatan dengan laju belanja yang juga meningkat. 

Kelompok bawah itu sempat tertekan nilai tabungannya ketika terjadi lonjakan harga bahan pokok. Namun, berhasil naik lagi ditengarai karena pengucuran bantuan sosial oleh pemerintah yang masif.

Sedang kelompok ekonomi atas, mencatat kenaikan indeks tabungan sejak Januari lalu ketika indeks belanjanya melandai. Ada dugaan, kelompok atas yakni konsumen dengan nilai tabungan di atas Rp10 juta, masih terjaga daya belinya didukung pendapatan dari investasi yang mereka lakukan di instrumen portfolio seperti saham atau obligasi. 

Pertumbuhan konsumsi per kapita pada kelompok menengah, yaitu persentile 40%-80%, selama periode 2019-2023 tercatat di bawah rata-rata nasional.

Andry Asmoro, Chief Economist Bank Mandiri

"Pertumbuhan konsumsi per kapita pada kelompok menengah, yaitu persentile 40%-80%, selama periode 2019-2023 tercatat di bawah rata-rata nasional," kata Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri dalam paparannya di perhelatan diskusi Asian Development Bank di Jakarta, pekan lalu.

Pola konsumsi kelas menengah yang semakin tertekan pengeluaran kebutuhan pokok, memperlihatkan tren defensif yang dapat dibaca sebagai pelemahan daya beli masyarakat RI menilik jumlahnya yang mayoritas dan sumbanga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Ilustrasi supermarket. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Kajian yang pernah dilansir oleh Muhammad Afdi Nizar, peneliti dari Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, selama periode 2010-2025, konsumsi kelas menengah diperkirakan memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan konsumsi nasional sekitar 2,37% per tahun.

Sedang terhadap pertumbuhan ekonomi, mengasumsikan pertumbuhan ekonomi 7,22% per tahun, sumbangan kelas menengah mencapai sekitar 1,39% rata-rata per tahun. Pada 2025, jumlah kelas menengah di RI diprediksi mencapai 142,7 juta orang.

Pendapatan Negara Lesu

Pelemahan konsumsi kelas menengah akan berimbas pada pendapatan negara dari lini pajak, terutama karena sumbangan kelas menengah terhadap pendapatan pajak yang cukup besar.

Terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya, berdasarkan kajian yang dipublikasikan oleh Eko Wicaksono dan rekan dalam studi berjudul "Pola Konsumsi dan Beban PPN Kelas Menengah Indonesia", sumbangan kelas menengah ditaksir mencapai 43% dari total PPN.

Sinyal itu sudah terlihat sejak awal tahun ini. Setoran PPN dan pajak barang mewah (PPnBM) terpantau semakin turun, berbarengan juga dengan kelesuan pajak penghasilan badan usaha (PPH Badan). 

Setoran PPN dan PPnBM turun 16,1% pada Maret menjadi Rp155,8 triliun. PPN neto dalam negeri yang berkontribusi dominan terhadap penerimaan pajak dengan porsi 22,1% pada kuartal 1-2024, turun 23,7% year-on-year. Sedang secara bruto, PPN dalam negeri pada kuartal 1 melambat signifikan hanya tumbuh 5,8% year-on-year dibanding 34,7% pada kuartal 1-2023.

Konsumsi kelas menengah Indonesia di bawah rata-rata nasional (Dok. OCE Group Bank Mandiri)

Penerimaan PPH pada kuartal 1 bruto maupun neto mencatat penurunan masing-masing 21,5% dan 30%, membuat sumbangan lini pajak ini ke total penerimaan pajak kuartal 1 jadi hanya 14,5%. 

Pelemahan konsumsi kelas menengah kemungkinan akan berlanjut tahun depan dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Dengan situasi ketidakpastian global yang masih tinggi, di mana masih kuat kekhawatiran akan terjadi resesi ekonomi, tantangan yang dihadapi oleh kelas menengah di Indonesia sepertinya masih akan berat.

Ketidakpastian ekonomi global di tengah rezim bunga tinggi yang masih akan bertahan, pelemahan permintaan minyak dunia, memberi sinyal para pemilik dana global masih mengantisipasi adanya resesi. 

Pertumbuhan ekonomi RI yang mendapat sokongan terbesar dari konsumsi rumah tangga, termasuk konsumsi kelas menengah, membutuhkan stimulus lebih besar agar pelemahan daya beli kelompok ini tidak semakin terpuruk dan akhirnya menyeret konsumsi keseluruhan.

-- dengan bantuan laporan Azura Yumna. 

-- update grafik pola konsumsi masyarakat RI.

(rui/aji)

No more pages