Logo Bloomberg Technoz

Dia menceritakan secara runut, beberapa guncangan global hebat yang mempengaruhi KEM-PPKF dalam 10 hingga 15 tahun terakhir yakni krisis global di Amerika Serikat dan Eropa pada 2008-2009. Kondisi itu nyaris melumpuhkan sistem keuangan dunia dan menyebabkan kontraksi ekonomi global hingga ke level 0,14%.

"Ini adalah kontraksi pertama kali sejak Great Depression (depresi hebat) pada 1932," ungkap Sri Mulyani.

Pasar keuangan global, menurut Sri Mulyani, juga mengalami guncangan, termasuk Indonesia. "Pada oktober 2008, imbah hasil atau yield Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia dengan tenor 10 tahun bahkan melonjak sangat tinggi sampai 21%, sementara indeks harga saham gabungan (IHSG) turun tajam 50%," sebut Sri Mulyani.

Dia mengatakan kepercayaan masyarakat saat itu merosot. Namun, kemudian, dia mengklaim Indonesia melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi makro dan fiskal hingga dampak guncangan global ke ekonomi dapat diminimalkan dan ekonomi Indonesia tetap mampu tumbuh pada 4,6% pada 2009.

Untuk mencegah kelumpuhan pasar keuangan global, dia menjelaskan, pemerintahan dan otoritas bank sentral AS dan eropa melakukan penyelamatan dan stabilitasi sistem keuangan dan perekonomian, dengan menurunkan suku bunga secara drastis mendekati 0%, dan menggelontorkan likuiditas dolar AS secara masif.

"China sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar juga melakukan stabilisasi nilai tukar dan stimulus ekonomi untuk meminimalkan dampak negatif krisis moneter global," tutur Sri Mulyani.

Menurut dia, krisis keuangan global merupakan sebagian contoh ujian berat bagi kemampuan KEM-PPKF untuk mengatasi persoalan ekonomi. Suku bunga global yang sangat rendah dan likuiditas hard-currency yang melimpah menyebabkan lonjakan harga komoditas, seiring dengan permitnaan yang pulih dengan pemulihan ekonomi global.

Hal ini berdampak positif bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, rata-rata ekonomi negara berkembang melonjak ke level 5,9% sepanjang 2010-2013. Indonesia juga mampu tumbuh pada kisaran 6%, didorong oleh permintaan domestik dan ekspor yang kuat.

"Namun, ekses overheating dari permintaan yang melonjak adalah terjadinya lonjakan inflasi mencapai 8%, sementara kesimbangan eksternal tertekan dengan transaksi berjalan yang mengalami defisit tajam 3,2% pada tahun 2013," papar Sri Mulyani.

Dia menegaskan hal ini menimbulkan kerawanan ekonomi baru. Ketika The Fed dan Eropa mulai mengetatkan kembali kebijakan moneter dan berencana menaikan suku bunga sejalan dengan pulihnya ekonomi pada 2013, maka arus modal keluar dari negara berkembang. Tak hanya itu, nilai tukar juga mengalami depresiasi hebat yang mengancam stabilitas sistem keuangan dan ekononomi banyak negara.

Pada akhirnya, dengan defisit transaksi berjalan di atas 3% pada 2013, Indonesia dianggap rapuh, dan masuk dalam kelompok the Fragile 5. Indonesia bersama-sama dengan Turki, Brasil, Afrika Selatan, dan India.

Dalam situasi kerawaan baru, KEM-PPKF kembali harus mengalami penyesuaian. Bank Indonesia menaikkan suku bunga 200 basispoin (bps) hingga 7,75% pada akhir 2014. Pasar keuangan juga menciptakan tekanan yield obligasi pemerintah sebesar 300 bps dari 5,8% Mei 2013 melonjak menjadi 8,8% pada Februari 2014. Hal ini menimbulkan tekanan pada APBN.

"Masa-masa sulit tersebut menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal sering dihadapkan pada faktor-faktor yang di luar kendali pemerintah," papar Sri Mulyani.

Dia mengatakan pemerintah harus melakukan perubahan dan manufer kebijakan dengan tetap menjaga keseimbangan antara mempertahankan momentum pertumbuhan, menjaga stabilitas dan menjaga keberlanjutan fiskal.

Sri Mulyani menyampaikan kerangka KEM PPKF 2025 ini disusun pada masa transisi dari pemerintahan Presiden Jokowi untuk pemerintahan selanjutnya yang dipimpin Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Menurut dia, kebijakan fiskal akan menjadi fondasi kuat untuk menghadapi tantangan yang bersifat musiman, demi mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

"KEM PPKF harus mampu mengidentifikasi, memahami, bahkan mengantisipasi tantangan dan perubahan tersebut, sehingga kita dapat merumuskan kebijakan ekonomi makro dan merancang instrumen kebijakan fiskal yang tepat untuk menghadapinya," tegas Sri Mulyani.

(lav)

No more pages