Pada saat yang sama, harga mobil saat ini juga jauh lebih terjangkau dibanding sebelumnya. Hal itu tecermin dari rasio harga mobil terhadap pendapatan masyarakat saat ini yang mencapai 47, dibandingkan 112 pada satu dekade silam.
"Artinya, pada tahun 2011, sebagian warga Jakarta harus menabung hampir 10 tahun pendapatan bulanannya baru bisa membeli Avanza. Sementara saat ini, dengan pendapatan sekarang, hanya butuh waktu 4 tahun," kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Research Analyst Christine.
Pada 2011 lalu, untuk bisa membawa pulang Toyota Avanza, seseorang perlu merogoh kocek sebesar Rp144 juta. Sementara tahun ini, duit yang dibutuhkan untuk membeli Avanza adalah Rp240 juta. Ada kenaikan harga jual Avanza sekitar 66% dalam 13 tahun.
Pada saat yang sama, tingkat Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta telah meningkat 292% selama periode yang sama yakni dari Rp1,3 juta pada 2011 menjadi Rp5,1 juta pada 2024. "Sementara rata-rata pendapatan nasional juga melonjak dari Rp1,3 juta menjadi Rp2,9 juta atau naik 123%," kata tim Bahana Sekuritas.
Dari data itu, bisa disimpulkan bahwa harga mobil relatif terjangkau dengan upah saat ini. Namun, mengapa konsumen tidak membeli mobil yang menyeret kinerja penjualan mobil serta sepeda motor semakin buruk akhir-akhir ini?
"Penjualan mobil dan sepeda motor yang terus melemah mungkin mencerminkan pergeseran preferensi belanja terhadap mobil di mana hal itu belum tentu cerminan pelemahan daya beli," kata Satria.
Beberapa hal yang mungkin mempengaruhi di antaranya adalah, pertama, semakin banyak pilihan berkendara melalui kehadiran transportasi online, membuat masyarakat tidak lagi melihat mobil sebagai kebutuhan yang mendesak dipenuhi.
Kedua, peningkatan konektivitas antar moda transportasi mulai pesawat terbang di bandara, juga kereta api jarak jauh, dengan jalur transportasi publik seperti Mass Rapid Transportation (MRT), lalu Light Rail Transportation (LRT) melengkapi keberadaan jalur kereta bandara dan commuterline yang sudah lebih dulu muncul, membuat masyarakat RI enggan membeli mobil.
"Bila hal itu terbukti benar, maka penurunan peringkat sektor otomotif di Indonesia sepertinya belum mencapai titik terendahnya," kata analis.
Dengan kata lain, Indonesia akan menyaksikan lebih banyak data penurunan penjualan mobil ke depan di mana hal itu akan mempengaruhi pula prospek perusahaan otomotif yang baru-baru ini memperlihatkan kejatuhan harga saham-saham utama seperti saham PT Astra International Tbk (ASII) yang sudah anjlok 15,4% dibanding harganya akhir tahun lalu dan sempat menyentuh level harga terendah dalam tiga tahun terakhir.
Begitu juga saham sektor otomotif lain seperti PT Astra Otoparts Tbk (AUTO) yang turun 15,25%, lalu harga saham PT Indomobil Sukses Makmur Tbk (IMAS) yang sudah terpapas 22,8% dari puncak harga tertinggi pada Januari lalu. Begitu juga harga saham PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) yang sudah turun 14,7% dari harga tertinggi tahun ini pada awal April.
Durable Goods Tertekan Sembako
Boleh jadi bila menilik dari rasio pendapatan terhadap harga mobil, orang Indonesia mungkin lebih mampu membeli mobil saat ini dibanding satu dekade silam.
Namun, apabila ditelisik lebih dalam, isu daya beli sulit untuk ditepis apabila membandingkan situasi saat ini yang dihadapi oleh rumah tangga Indonesia terutama perihal lonjakan harga pangan.
Dalam dua tahun terakhir, lonjakan harga pangan terbilang fantastis di mana harga beras saja sempat memecah rekor kenaikan tertinggi sepanjang sejarah republik, melonjak 19,28% dalam setahun pada Februari. Bukan hanya beras, harga kebutuhan dapur lain seperti gula, tepung, sampai bumbu-bumbuan juga tersulut inflasi tinggi.
Sampai akhir April, inflasi kelompok makanan, minuman dan tembakau naik 7,04%, sedangkan inflasi harga pangan bergejolak mencapai 9,63% year-on-year.
Pendapatan masyarakat sudah habis duluan tersedot pengeluaran untuk makanan, kebutuhan pokok, yang harganya semakin menggila. Alhasil, alokasi untuk pembelian barang tahan lama seperti mobil, semakin tergerus bahkan tidak tersisa.
Kajian yang dilakukan oleh Mandiri Institute mencatat, kondisi keuangan masyarakat kelas menengah, semakin habis untuk belanja makanan. Data Mandiri Spending Index (MSI) mencatat, pada Januari 2023, porsi penghasilan yang digunakan untuk belanja makanan masih 13,9%. Porsinya melonjak pada Lebaran tahun lalu menjadi 16,6%. Namun, pada Mei 2024 ketika Lebaran sudah bubar, porsi penghasilan yang terkuras untuk belanja makanan mencapai 26%.
"Jadi ada lonjakan dua kali lipat [untuk kebutuhan primer], sehingga untuk belanja secondary relatif terbatas. Ini yang akan berpengaruh pada kemampuan belanja barang non-primer," kata Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam acara Asian Development Outlook 2024 Discussion pekan lalu di Jakarta.
Kelompok menengah bawah mencatat tekanan daya beli terbesar di mana simpanan kelompok ini di bank berkurang sementara indeks belanja stagnan memberi sinyal fenomena 'makan tabungan'.
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
-- update grafik rasio pendapatan masyarakat dengan harga mobil.
(rui/aji)