Di tengah angin segar dari pemulihan China, Perry melihat risiko eksternal yang lebih menantang datang dari AS. “[Suku bunga acuan] The Federal Reserve (The Fed) kemungkinan akan mencapai 5%, bahkan mungkin 5,5%, atau lebih tinggi dalam jangka waktu lebih panjang,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, indeks dolar AS juga terus menguat di rentang 100.3—100.5. Belum lagi, lanjutnya, krisis perbankan yang melanda tiga bank global Negeri Paman Sam juga kian menambah panjang deretan risiko inflasi global yang berujung pada arus modal keluar investor di pasar berkembang.
Di tengah latar belakang tersebut, BI mengestimasikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di rentang 5,1%—5,2% tahun ini. Sementara pada 2024 mencapai 5,3%. Namun, lagi-lagi, pertumbuhan lebih ditopang oleh konsumsi domestik, alih-alih ekspor dan investasi.
“Meskipun kita tengah menghadapi krisis keuangan global, baik bank sentral maupun Kementerian Keuangan, bekerja keras untuk memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat dan stabil,” kata Perry.
Sementara itu, inflasi inti di Indonesia pada tahun ini diproyeksikan sekitar 3,0±1%. Indeks Harga Konsumen (IHK) akan melandai di bawah 3,5% pada paruh kedua 2023atau setelah September, sebagai dampak dari penyesuaian subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang ditempuh pemerintah tahun lalu.
Di sisi lain, pertumbuhan kredit akan mencapai 10%—12% pada tahun ini dan tahun depan.
Senada dengan Perry, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak menampik bahwa risiko terbesar perekonomian global telah bergeser dari isu pandemi ke persoalan inflasi. Untuk itu, otoritas fiskal akan menimbang ulang kebijakan makro yang dikombinasiikan dengan instrumen moneter dari bank sentral.
“Sekarang memasuki bulan ketiga 2023, kita masih punya cukup banyak ruang fiskal sebagai bantalan untuk meredam dampak situasi global. Namun, kebijakan makroekonomi harus terus dikalibrasi ulang untuk memastikan fundamental ekonomi kita tetap solid,” ujarnya.
Melihat fenomena krisis perbankan global belakangan ini, Sri Mulyani juga mengatakan, Kemenkeu dan BI telah melakukan stress test untuk menguji ketahanan fundamental makro Indonesia terhadap potensi risiko yang bisa datang secara tiba-tiba.
“Jadi inilah tantangan bauran kebijakan antara moneter dan fiskal. Kombinasi keduanya hanya bisa dilakukan jika sektor keuangan di negara kita aman. Jadi, performa keuangan industri perbankan dan nonbank akan terus kami pantau,” ucap dia.
(wdh/ezr)