Logo Bloomberg Technoz

Pertamina mulai menyebut nama Pertamax Green 92 pada Agustus 2023, sebagai isyarat adanya rencana untuk mengonversi Pertalite menjadi bahan bakar ramah lingkungan dengan oktan tinggi. Dalam desainnya, Pertamax Green 92 merupakan BBM setara bensin dengan bauran bioetanol berbasis tebu 7% (E7).

Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI akhir Agustus, Pertamax Green 92 kemungkinan dibanderol seharga Pertalite alias sekitar Rp10.000/liter. Dengan bauran E7, bahan bakar tersebut diklaim menaikkan RON Pertalite dari 90 menjadi 92.

"Tidak mungkin harga [Pertamax Green 92] diserahkan ke pasar. Tentu ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya," ujar Nicke saat itu.

Nicke menjelaskan rencana konversi Pertalite merupakan bagian dari program Langit Biru untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Pada program Langit Biru Tahap 1, Pertamina telah menaikkan produk BBM subsidi dari BBM RON 88 Premium menjadi RON 90 Pertalite.

"Dengan harga yang sama, masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan angka oktan yang lebih baik sehingga untuk mesin juga lebih baik, sekaligus emisinya juga menurun," tegas Nicke.

Konsumen membeli Pertalite di SPBU Pertamina./Bloomberg-Dimas Ardian


Apakah Pertamax Green 92 Pasti Menggantikan Pertalite?

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pernah membantah Pertamina akan menghapus Pertalite pada 2024.

Namun, dia menjelaskan sebenarnya perusahaan migas milik negara itu mengusulkan skema agar penggunaan bensin dapat lebih efisien dan ramah lingkungan, salah satunya dengan mengkaji produksi Pertamax Green 92.

Enggak. Semua pembicaraannya dibentuk media, katanya Pertalite akan dihapus. Tidak pernah ada statement itu. Enggak ada, yang ngomong siapa?” ujarnya dalam sebuah acara di Tangerang, awal September.

Sebenarnya, belum ada pernyataan gamblang dan resmi dari pemerintah ihwal apakah Pertamax Green 92 sudah pasti bakal digunakan untuk mengganti Pertalite.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akhir bulan lalu mengatakan pemerintah membuka peluang untuk mengganti Pertalite dengan bioetanol.

Menurut Luhut, BBM bioetanol bisa dikembangkan melalui berbagai bahan baku, seperti jagung, tebu, hingga rumput laut.

Selain itu, CEO PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) John Anis mengatakan perseroan masih belum memastikan tingkat RON dari Pertamax Green yang diproduksi dari sumber daya tebu di Merauke, yang nantinya bakal digunakan sebagai pengganti BBM Pertalite atau Pertamax.

Kesimpulannya, hingga saat ini, pemerintah baru mengonfirmasi bahwa bioetanol memang direncanakan sebagai opsi untuk mengganti Pertalite atau Pertamax, sedangkan besaran RON-nya masih dikaji.

Seorang pengendara mengisi bahan bakar di pom bensin menjelang pemogokan dua hari di Naples, Italia, Selasa (24/1/2023). (Alessio Paduano/Bloomberg)


Apakah Pertamax Green 92 Disubsidi?

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengamini terdapat wacana pemberian subsidi kepada Pertamax Green 92.

Anggota BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan, secara ideal, pemerintah memang seharusnya memberikan subsidi kepada BBM yang lebih berkualitas.

Dengan demikian, kata Saleh, muncul wacana termasuk dari Pertamina untuk mengkaji peralihan dari Pertalite kepada bahan bakar dengan research octane number (RON) 91 ke atas.

“[Rencana menggeser anggaran kompensasi Pertalite ke] Pertamax Green 92, memang idealnya yang diberikan subsidi itu BBM yang lebih berkualitas, idealnya begitu,” ujar Saleh saat ditemui di ICE BSD, Selasa (14/5/2024).

“Makanya, muncul wacana termasuk dari Pertamina untuk mengkaji perubahan dari Pertalite ke RON 91 ke atas sesuai Peraturan Menteri KLHK No. 20/2017 tentang Emisi, itu pegangan, sulfurnya sekian tetapi RON 91 ke atas.”

Saleh menganggap wacana peralihan subsidi dari Pertalite ke Pertamax Green 92 merupakan rencana baik. Terlebih, bila pemerintah memiliki rencana untuk menjadikan Pertamax Green 92 sebagai jenis BBM khusus penugasan (JBKP) pengganti Pertalite.

Namun, pemerintah tentu perlu mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, harga, dan ketersediaan bioetanol.

“Pemerintah perlu mempetimbangkan harga, kesiapan infrastruktur dalam negeri, bioetanol terutama kan 5%—7%, harus dipikirkan sumber dari mana dan harga. Namun, menurut saya, secara personal, itu bagus ya ,” ujar Saleh. 

(wdh)

No more pages