"Satu pabrik gula ukuran sedang ini membutuhkan minimal Rp2 triliun. Ini 100 pabrik gula butuh berapa triliun? Sudah setara dengan APBN kita," kata Soemitro.
"Jangan memandang Merauke ke itu seperti Bekasi, Karawang yang tanahnya sudah begitu jadi, kita harus bijak lokasinya," tegasnya.
Di sisi lain, Soemitro menyoroti permasalahan infrastruktur untuk menanam tebu di Merauke. Dia lantas mempertanyakan bagaimana konsep pemerintah dalam mengembangkan lahan tebu dan pabrik gula yang akan menjadi satu kesatuan ekosistem alias terintegrasi di sana.
"Tidak mungkin itu tanah kosong pasti itu tanah tandus. Kalau subur pasti ada tumbuhannya, tingkat kerataannya bagaimana? Pengairannya bagaimana? Sistem pembuangan airnya bagaimana? Banyak hal yang itu butuh survei yang lama, tidak sebentar untuk mendirikan pabrik gula," jelasnya.
"Pabrik ini harus mengikuti kebun, atau kebunnya mengikuti pabrik, keduanya harus berjalan bareng."
Soemitro pun meminta agar pemerintah lebih banyak mengkaji ulang atau melakukan secara bertahap mengenai rencana pembangunan pabrik gula di Merauke lantaran masih terdapat beberapa infrastruktur yang harus dibenahi seperti akses jalan, hingga kelistrikan.
Bangun 5 Pabrik
Sementara itu, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan 2 juta hektare (ha) lahan tebu baru di Merauke, Papua Selatan ditargetkan menghasilkan 2 juta ton gula/tahun mulai 2027 untuk substitusi impor.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot mengatakan pembukaan lahan baru tersebut nantinya akan menghadirkan investasi 5 PG baru. Namun, dia tidak mendetailkan siapa saja investor PG tersebut; apakah swasta atau badan usaha milik negara (BUMN)
“Kapasitas [produksi] 5 pabrik tersebut sekitar 2 juta gula/tahun. [...] Saat ini Indonesia impor gula sekitar 5 juta ton/tahun. Dengan adanya produksi gula di Merauke, pada 2027 akan bisa menjadi substitusi impor,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, akhir April.
Untuk tahap pertama, BKPM menyebut pemerintah sudah mendatangkan sekitar 2 juta bibit tebu dari Australia. Bibit tersebut pun diklaim cocok dengan kondisi tanah di Merauke.
“Untuk bibit, diharapkan tingkat rendemen [tebu]-nya 12%—13%, dengan pengembangan bibit dalam negeri dan impor yang merupakan kerja sama dengan Sugar Research Australia,” terang Yuliot.
Pembukaan lahan 2 juta ha lahan tersebut sesuai dengan penugasan yang termaktub di dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Yuliot sebelumnya mengatakan kepada Bloomberg Technoz bahwa megaproyek swasembada gula dan bioetanol tersebut membutuhkan investasi sekitar US$8 miliar atau sekitar Rp130 triliun, asumsi kurs saat ini.
Di lain sisi, PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN) atau Sugar Co mengatakan penanaman pada lahan tebu baru seluas 2 juta ha di Merauke, Papua Selatan hanya akan dilaksanakan maksimal sebesar 50% pada tahap awal.
Presiden Direktur Sugar Co Aris Toharisman mengatakan hal tersebut sesuai dengan studi kelayakan (feasibility study) dari proyek yang menjadi bagian penugasan dari Satgas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol.
Selain itu, Sugar Co memastikan perseroan tidak akan menjadi satu-satunya pengelola lahan tebu seluas 2 juta ha tersebut, melainkan akan turut melibatkan peran korporasi swasta.
“Lahan yang dikelola bertahap. Dari 2 juta ha tersebut tidak semuanya ditanami tebu. Mungkin maksimal 50% sesuai feasibility study. Juga bukan hanya Sugar Co yang akan tanam tebu, tetapi juga swasta,” ujar Aris kepada Bloomberg Technoz.
(wdh)