Bloomberg Technoz, Nusa Dua — Kendati desakan global agar Asia Tenggara segera beralih ke energi hijau kian menguat, tidak ada cara lain bagi kawasan tersebut untuk mendanai proses transisi secara gradual. Meninggalkan energi fosil secara dadakan dinilai justru akan mencederai perekonomian anggota Asean.
Dalam konteks itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menjelaskan Asia Tengara merupakan satu-satunya regional di dunia yang diprediksi mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya pada 2023. Itu mengapa anggota Association of Southeast Asian Nations (Asean) disebut episentrum global.
Seiring dengan makin strategisnya posisi Asean dalam perekonomian dunia, tuntutan untuk menuju pendanaan berkelanjutan (sustainable financing) pun makin kuat. Terlebih, dunia sedang menghadapi tantangan perubahan iklim yang kian akut.
“Namun, untuk mendanai transisi, dari berbasis energi fosil ke energi hijau, harus dilakukan secara gradual. [Berbeda dengan negara-negara Barat], kita ini kelompok yang [memiliki pendekatan] berbeda dalam mengatasi isu lingkungan,” ujarnya di sela Seminar on Financing Transition in Asean, yang merupakan bagian dari rangkaian pertemuan Asean Finance Ministers and Central Bank Governors (AFMGM) di Nusa Dua, Rabu (29/3/2023).

Mahendra menggarisbawahi, meski investasi energi hijau memiliki tujuan mulia, transisi yang dilakukan secara drastis justru akan melukai stabilitas keuangan negara-negara Asean. Terlebih, kawasan tersebut memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi fosil atau batu bara.
“Makanya penting bagi kita untuk mengadopsi konsep pendanaan berkelanjutan di tataran Asean. Namun, pada saat bersamaan, kepentingan pemberantasan kemiskinan masih harus tetap menjadi prioritas utama, di samping kepentingan lingkungan. Jadi transisi secar gradual dan seimbang sangat mendesak dan krusial untuk dilakukan,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Mahendra, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, isu transisi energi di Asean sangatlah kompleks dan tidak sekadar mencakup persoalan perubahan kebijakan. Terlebih, sektor batu bara mendominasi lebih dari 60% bauran energi di Indonesia.
Kesiapaan industri keuangan dalam mendanai transisi energi di Asean menjadi hal yang tidak kalah penting. Selain itu, kata Sri Mulyani, negara-negara Asia Tenggara juga harus melihat situasi riil di negara masing-masing.
“Transisi menuju ekonomi hijau harus mengadopsi prinsip keadilan dan keterjangkauan. Untuk mencapai tujuan itu, kita butuh peta jalan, kebijakan, infrastruktur legislasi, seperti skema pasar karbon dan pajak karbon, serta pada saat bersamaan juga memiliki rencana mitigasi sosial, karena proyek transisi ini melibatkan investasi dalam jumlah sangat besar,” tuturnya.

Menciptakan transisi yang terjangkau, lanjut Sri Mulyani, adalah hal yang tidak mudah. Setiap negara harus memikirkan bagaimana memproduksi harga energi hijau yang terjangkau bagi masyarakat, pebisnis, sektor keuangan, hingga beban anggaran negara.
“Bicara terjangkau memang mudah, tetapi banyak hal teknis yang harus diuji dengan kasus riil di lapangan. Kita butuh waktu karena transisi energi yang terlalu mendadak justru akan menimbulkan kekacauan dan biaya besar. Namun, di sisi lain, perubahan iklim tidak terhindarkan. Jadi, di satu sisi kita butuh waktu [untuk bertransisi], di sisi lain perubahan iklim juga kian nyata implikasinya,” jelasnya.
Menyitir riset International Renewable Energy Agency (Ierna), kebutuhan investasi jangka pendek Indonesia dalam rangka percepataan transisi energi mencapai US$ 314,5 miliar atau sekira Rp 4,7 kuadriliun selama 2018—2030. Dengan demikian, RI baru dikatakan sanggup memenuhi komitmen Paris Agreement untuk menurunkan suhu sebesar 1,5 derajat celcius.

Sekadar catatan, Indonesia memperkenalkan Energy Transition Mechanis (ETM) yang disokong Asian Development Bank (ADB) pada momentum G-20, November tahun lalu. ETM terbagi menjadi dua bagian, yaitu fasilitasi pemangkasan karbon melalui pensiun dini PLTU batu bara, serta fasilitasi energi bersih melalui pembangunan industri EBT. Keduanya dikatakan membutuhkan biaya amat besar.
Saat meluncurkaan ETM dalam forum G-20 tahun lalu, Indonesia menyepakati Just Energy Transitions Partnership (JETP). Koalisi negara-negara maju akan memobilisasi dana hibah dan pinjaman lunak senilai US$ 20 miliar selama periode 3—5 tahun, melalui program tersebut.
Donor program JETP mencakup Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia, Italia, Jepang, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat (AS). Tujuannya untuk membantu Indonesia menutup pembangkit listrik tenaga batu bara dan memajukan tenggat emisi puncak sektor pembangkit listrik dalam 7 tahun hingga 2030.
Komitmen pembiayaan tersebut mengurangi beban negara sekitar US$ 600 miliar, yang dibutuhkan untuk menghapuskan operasional listrik berbasis batu bara demi jaringan listrik yang ditenagai oleh energi terbarukan.
“JETP ini adalah ujian berat bagi Indonesia untuk memegang janji serta komitmen transisi energinya,” ujar Sri Mulyani.
(wdh/wep)