Sementara bagi aset yang sudah mencatat keuntungan sesuai target, lebih baik profit taking atau menambah kepemilikan di tengah situasi pasar yang volatile?
Bila berkaca pada langkah investor kawakan nan legendaris seperti Warren Buffet, terlihat bahwa ia pada akhirnya memilih mengurangi risiko dengan memperbanyak dana tunai di neracanya. Aset-aset berisiko seperti saham, ia turunkan porsinya terutama di saham yang sudah cukup menguntungkan. Buffet tercatat melakukan penjualan besar untuk salah satu saham di portfolionya yaitu saham Apple Inc. (APPL) setidaknya sebesar US$38,9 miliar selama kuartal pertama tahun ini.
Hasil penjualan saham itu tidak ia alihkan ke aset saham lain yang prospektif karena tujuan Buffet adalah mengurangi eksposur aset berisiko. Buffet menempatkan dana itu di aset lancar/kas, dalam bentuk dana tunai, surat utang bertenor pendek dan sebagainya.
Sampai akhir Maret lalu, posisi kas Buffet naik menembus rekor baru jadi US$189 miliar dan membukukan pendapatan bunga, termasuk dari penempatan di aset likuid dengan imbal hasil, mencapai US$1,9 miliar, naik dibanding kuartal sebelumnya US$1,1 miliar.
Langkah mengurangi eksposur di saham sepertinya akan terus dilakukan Buffet dengan memperkirakan posisi kasnya akan semakin besar di angka US$250 miliar pada akhir kuartal dua tahun ini.
Bagi investor konservatif yang tidak nyaman mengantisipasi kenaikan risiko dari ketidakpastian ke depan, memutuskan keluar atau mengurangi eksposur di aset berisiko bisa ditempuh. Namun, ada baiknya penempatan dana kas tetap dilakukan di instrumen yang memberikan yield atau imbal hasil. Bagi para investor domestik, berikut ini adalah pilihan penempatan dana tunai yang dapat dipertimbangkan:
Surat Berharga Negara (SBN)
Obligasi negara adalah pilihan ideal di tengah situasi yang tidak pasti di mana seseorang membutuhkan instrumen yang masih memberi imbal hasil cukup baik tapi juga likuid. SBN bisa dibeli di pasar sekunder dan tidak harus dipegang hingga jatuh tempo.
Berinvestasi di SBN memberi keleluasaan di mana investor bisa mendapatkan yield tinggi dan menguncinya sampai nanti jatuh tempo bila memang tak berniat melepas di tengah jalan. Sementara bila hendak menjualnya dalam jangka pendek juga masih dimungkinkan dan ada peluang capital gain bila SBN dilepas di kala harganya naik.
Modal investasi di SBN adalah mulai Rp1 juta per unit. Dalam memilih SBN mana yang menarik akan bergantung pada kebijakan investasi seseorang apakah akan trading atau hold to maturity (pegang sampai jatuh tempo). Beberapa yang harus diperhatikan adalah, yield SBN, maturity date (tanggal jatuh tempo), tingkat kupon, yield to maturity, yield curve dan durasi SBN. Beberapa hal itu akan menentukan apakah sebuah SBN dinilai sudah mahal atau masih murah. Anda bisa membeli SBN di agen penjual, yaitu sekuritas atau melalui bank yang Anda percaya.
Risiko memegang SBN adalah bila negara selaku issuer mengalami masalah fiskal yang menyebabkan pembayaran imbal hasil jadi tersendat atau bahkan default.
SBN Ritel
Obligasi negara ritel juga bisa dibeli dengan modal mulai Rp1 juta. Saat ini pemerintah masih membuka penawaran untuk berinvestasi di Sukuk Tabungan seri ST012 yang tersedia dalam dua tranches yaitu dua dan empat tahun.
Sebagai gambaran, Anda menempatkan investasi di ST012-T2 tenornya dua tahun, jatuh tempo 10 Mei 2026, dan memberikan kupon 6,4% per tahun. Bila Anda menaruh dana Rp100 juta, maka akan mendapatkan kupon per bulan sebesar Rp479.970 selama dua tahun. Sehingga total pendapatan kupon mencapai Rp11,11 juta bila memegangnya hingga jatuh tempo nanti.
Sukuk tabungan tidak bisa dijual di pasar sekunder. Namun, ia memiliki fitur early redemption atau pencairan sebelum jatuh tempo. Jadi, bila di tengah masa investasi Anda ingin mencairkan, hal itu masih bisa dilakukan tapi maksimal pencairan adalah 50% dari modal (principal). Pencairan lebih awal juga baru bisa dilakukan pada 10 Mei 2025 atau setahun setelah pembelian.
Dolar AS
The greenback masih menjadi pilihan aset safe haven selain emas di kala turbulensi pasar masih tajam. Dengan prospek penurunan bunga acuan global masih belum jelas dan yang sudah dipastikan adalah rezim higher for longer, memegang dolar AS masih jadi pilihan banyak investor dunia saat ini, apakah itu dalam bentuk Treasury atau surat utang AS atau instrumen pasar uang lain dalam valas.
Bagi investor domestik, membeli dolar AS yang paling mudah adalah lewat bank dan disimpan di bank. Namun, cara ini memang cuma memberikan imbal hasil mini. Sebagai contoh, deposito valas di salah satu bank asing di Indonesia untuk penempatan terlama 12 bulan, hanya memberikan 2,15% untuk dana di bawah US$5.000. Tertinggi juga cuma diganjar 2,75% untuk dana di atas US$100.000.
Tingkat bunga deposito valas itu juga masih jauh di bawah tingkat bunga acuan Fed fund rate saat ini yang sudah 5,5%. Selain itu, prospek harga dolar AS juga diprediksi akan semakin turun ke depan. Bank Indonesia memperkirakan, nilai tukar rupiah (harga dolar AS) pada kuartal IV tahun ini akan turun ke Rp15.800/US$. Saat ini, kurs dolar AS di perbankan masih di kisaran Rp16.000-an.
Deposito Bank Digital
Pilihan lain adalah menempatkan dana tunai di deposito bank digital yang memberikan imbalan hingga 7%-8% per tahun dengan principal mulai Rp1 juta atau Rp10 juta. Namun, dengan tingkat bunga sebesar itu, Anda perlu ingat ada risiko yang ditanggung bila terjadi masalah di bank tempat Anda menaruh duit.
Bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) saat ini di bank umum masih di kisaran 4,25%. Artinya bila terjadi masalah di bank yang mengancam pengembalian dana, LPS tidak akan menggantinya karena simpanan itu memberikan bunga di atas bunga penjaminan. Sementara di bank rakyat alias BPS, tingkat bunga penjaminan dipatok di kisaran 6,75% saat ini.
(rui/aji)