"Bank sentral yang sehat secara finansial, yang tidak perlu bergantung pada pendanaan pemerintah untuk operasionalnya, memungkinkan independensi yang lebih besar dalam kebijakan moneter. Namun, kemunculan surat berharga bank sentral baru seperti SRBI di tengah era kenaikan bunga acuan bisa menaikkan beban moneter yang pada akhirnya mempengaruhi fleksibilitas kebijakan BI dalam jangka panjang," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas.
Namun, di sisi lain bila bertujuan mengurangi beban operasi moneter, BI juga tidak bisa begitu saja menjual SBN ke pasar karena akan menyeret rupiah melemah. Ditambah saat ini nilai cadangan devisa sudah berkurang hingga US$10 miliar dalam empat bulan saja dan prospek ekspor yang melemah, situasi BI jadi serba terbatas. "BI kini seperti tersandera, maju kena mundur kena," kata Ekonom Centre of Economic and Law Studies Bhima Yudistira.
Dominasi Fiskal
Mengacu pada data Kementerian Keuangan terbaru per 15 Mei, BI saat ini memiliki SBN hingga 23,22% dari outstanding obligasi negara di pasar. Persentase itu setara dengan Rp1.322,05 triliun, mengalahkan kepemilikan perbankan 22,1% dan industri asuransi, dana pensiun dan manajer investasi total 21,98%.
Angka itu juga menjadi kepemilikan SBN terbesar oleh BI sepanjang masa, menempatkan BI di kelompok eksklusif bank sentral pemegang terbesar obligasi negaranya sendiri bersama Jepang yang memegang 50% obligasi yen.
Semakin besarnya penguasaan BI atas obligasi negara pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan semasa pandemi menerjang yang menjatuhkan perekonomian dalam resesi. Pada 2020 lalu, BI dan pemerintah menyepakati kebijakan burden sharing untuk menutup defisit APBN yang menganga akibat 'matinya' perekonomian gara-gara pandemi Covid-19.
Dalam bahasa lebih sederhana, BI mencetak uang dengan membeli surat utang yang diterbitkan pemerintah, di mana uang utang itu digunakan pemerintah untuk membiayai APBN agar perekonomian tetap berdenyut. Sebagai perbandingan, sebelum pandemi, penguasaan SBN oleh BI di awal 2020 hanya 5% dari total outstanding obligasi di pasar.
"Seharusnya setelah berakhir [skema burden sharing], proporsi SBN milik BI turun. Bila ini dilanjutkan, bisa-bisa pemerintah semakin agresif menerbitkan SBN 'toh ada BI sebagai standby buyer. Disiplin fiskal pemerintah jadi melemah, dan BI seperti berada di bawah 'ketiak' pemerintah,"
Bhima Yudistira, Ekonom Centre of Economic and Law Studies
Skema burden sharing sebenarnya sudah berakhir pada 2022 lalu. Namun, kepemilikan SBN oleh BI malah semakin besar, sebagian karena BI dinilai 'telat' menyedot likuiditas dari pasar melalui kenaikan bunga acuan yang seharusnya bisa dilakukan lebih awal sebelum keputusan Oktober 2023 kala rupiah tersudut.
Ketika booming harga komoditas memberikan stok dolar AS memadai di pasar, BI memiliki kesempatan untuk tapering SBN di neracanya.
"Seharusnya setelah berakhir [skema burden sharing], proporsi SBN milik BI turun. Bila ini dilanjutkan, bisa-bisa pemerintah semakin agresif menerbitkan SBN 'toh ada BI sebagai standby buyer. Disiplin fiskal pemerintah jadi melemah, dan BI seperti berada di bawah 'ketiak' pemerintah," kata Bhima.
Risiko 2025
Kekhawatiran bahwa kemerosotan disiplin fiskal itu akan berlanjut, juga muncul seiring dengan berbagai rencana program Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang membutuhkan dana sangat besar seperti makan siang gratis dan kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Dalam pernyataan terbaru di Qatar Economic Forum, Prabowo menyatakan akan menggeber belanja besar-besaran untuk mendorong pertumbuhan, melalui berbagai program populis yang ia promosikan selama kampanye. Prabowo juga optimistis ekonomi RI bisa dikerek tumbuh sampai 8% dalam 2-3 tahun masa pemerintahannya.
Prabowo juga menyebut batas defisit APBN 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai sesuatu yang arbitrer, memberi sinyal bahwa ada potensi pemerintahannya kelak mungkin mengerek defisit demi membiayai berbagai belanja berbiaya jumbo.
Defisit yang melebar bisa mempengaruhi stabilitas peringkat surat utang, salah satu modal berharga Indonesia dalam menjaga perekonomian di tengah gejolak. Ini yang cukup menjelaskan mengapa ketika hasil Pilpres sudah keluar, asing masih terus melepas SBN mereka di pasar, selain imbas sentimen global.
Kepemilikan asing di SBN sampai 15 Mei lalu adalah sebesar Rp791,61 triliun, turun dibanding posisi pekan lalu sebesar Rp797,93 triliun. Berdasarkan data BI, sepanjang tahun ini hingga data setelmen 7 Mei lalu, asing masih membukukan posisi jual neto di SBN senilai Rp46,61 triliun di pasar SBN.
(rui/aji)