Logo Bloomberg Technoz

Maju Kena, Mundur Kena: Kala BI Tersandera Segunung Surat Utang

Ruisa Khoiriyah
17 May 2024 13:30

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. (Dimas Ardian/Bloomberg)
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Kepemilikan Bank Indonesia (BI) yang sangat besar atas surat utang terbitan pemerintah RI (SBN) yang menjadi buntut dari kebijakan burden sharing dengan pemerintah kala pandemi Covid-19 mematikan perekonomian, masih berlanjut sampai kini dan pada satu titik membatasi keleluasaan bank sentral dalam mengelola moneter serta menjaga independensi kebijakan ke depan.

Di tengah ketidakpastian global yang sewaktu-waktu masih bisa menggoyang lagi kekuatan nilai rupiah, ruang bagi BI menjadi lebih terbatas dalam bermanuver, sementara beban operasional yang ditanggung buntut dari skema burden sharing kian bengkak dan bisa menyeret neraca BI dalam kondisi defisit. Dalam jangka panjang, ekses likuiditas yang terlalu besar ditambah neraca yang negatif, dapat menghambat transmisi kebijakan moneter.

Ini yang sebenarnya mulai terlihat di tengah tekanan turbulensi pasar global setahun terakhir. Kepemilikan SBN yang sudah begitu besar, pada akhirnya mendorong BI semakin agresif memakai SRBI sebagai 'senjata utama' untuk menarik modal asing masuk (capital inflows) dengan bunga jauh lebih tinggi ketimbang BI rate, untuk memberi sokongan pada rupiah. Dalam lelang SRBI pada 15 Mei lalu, SRBI tenor 12 bulan diberikan bunga 7,52%, jauh melampaui BI rate di 6,25%. 

Bunga tinggi SRBI di tengah kepemilikan SBN yang sudah begitu besar, bukan tanpa biaya. Beban operasional BI pada 2022 sudah melonjak mencapai Rp23 triliun dibandingkan Rp4,4 triliun pada 2020, efek skema burden sharing. Ditambah rilis SRBI dengan bunga yang tinggi akan membengkakkan biaya moneter dan memicu defisit anggaran tahun ini hingga Rp29,3 triliun, dari proyeksi surplus neraca tahun 2023 sebesar Rp27,2 triliun.

Defisit neraca bank sentral bisa menurunkan kredibilitas BI sebagai otoritas moneter dan dalam skenario terburuk yaitu ketika rasio modal terhadap kewajiban moneter terus mengecil hingga di bawah 3%, negara harus turun tangan melalui suntikan modal tambahan ke bank sentral.