Saat permintaan dari luar negeri cenderung lesu pun, pengusaha tidak bisa bermanuver dengan menjual produksi mereka sepenuhnya untuk pasar dalam negeri, khususnya sektor industri biodiesel.
Nilai keekonomian biodiesel yang masih belum menyamai pangsa pasar ekspor menjadikan penjualan CPO di dalam negeri untuk biodiesel tidak mudah.
Permasalahannya, program biodiesel di dalam negeri selama ini masih dibantu pendanaan dari hasil pungutan ekspor (PE) CPO yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKAS).
Walhasil, jika pengusaha tidak mengekspor CPO, pendanaan untuk pengembangaann biodiesel pun akan makin tersendat dan membebani pelaku industri.
“Kalau untuk biodiesel itu jauh lebih mahal [produksinya], dan bahkan justru jadi rugi. Harus dilihat dahulu keekonomiannya. Sekarang contoh, CPO mau dipakai semua [untuk produksi biodiesel] di dalam negeri semua, pertanyaannya; lebih mahal mana minyak bumi sama minyak sawit? Kalau ternyata [CPO] dipakai semua [untuk produksi biodiesel dengan harga] lebih mahal, sekarang menutup [selisih ongkos produksi]-nya dari mana? Subsidinya dari mana?”
Menurut data Gapki, perkembangan kinerja ekspor CPO dan produk turunannya kian makin menurun akibat tingginya kebutuhan untuk biodiesel di dalam negeri. Kecenderungan tersebut terutama telah terlihat sejak September 2023.
"Porsi ekspor terhadap produksi turun sejak September 2023. Porsi Ekspor terhadap produksi pada Februari 2024 sebesar 50,9%. Biasanya kita bisa ekspor 70,9%," jelas Eddy pada sebuah kesempatan akhir April.
"[Kebutuhan CPO untuk ] biodiesel sejak Juni 2023 sudah lebih tinggi dari konsumsi untuk pangan. Dengan mandatori B35 saja [serapan CPO yang seharusnya untuk ekspor] sudah lebih tinggi untuk biodiesel, bagaimana kalau naik ke B40? Akan lebih tinggi lagi," jelasnya.
Untuk diketahui, sejak Desember 2022, pemerintah mulai gencar menyuarakan transisi B30 menjadi B35 untuk digunakan masyarakat luas.
Komposisi B35 terdiri dari 35% bahan bakar nabati (BBN) dan 65% solar. B35 sendiri mulai bisa digunakan masyarakat umum per 1 Februari 2023, dengan alokasi kebutuhan sebesar 13 juta kiloliter (kl). Sementara itu, untuk penaikan mandatori menjadi B40, dibutuhkan produksi biodiesel sebanyak 15 jut akl.
Dari segi produksi CPO, Gapki mencatat realisasi per Februari 2024 mencapai 3,88 juta ton, terkontraksi 8,24% dari bulan sebelumnya atau secara month to month (mtm), tetapi naik 4,38% dari Februari 2023 atau secara year on year (yoy).
"Konsumsi juga terjadi penurunan 4,72% [mtm menjadi 1,84 juta ton], tetapi secara year on year positif 2,57%," ujar Eddy.
Di sisi lain, volume ekspor CPO pada bulan tersebut mencapai 1,80 juta ton alias mengalami penurunan cukup drastis sebesar 26,48% mtm dan 2,68% yoy. Adapun, stok akhir CPO per Februari menyentuh 3,25 juta ton, naik 7,24% mtm dan 17,78% yoy.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor CPO per April 2024 hanya mencapai US$1,39 miliar alias anjlok 10,49% secara mtm, meski naik tipis 0,91% secara yoy.
(wdh)