Logo Bloomberg Technoz

Transaksi Berjalan

Mengapa surplus neraca perdagangan belum bisa menjadi ‘obat kuat’ buat rupiah? Apakah ada yang salah?

Surplus neraca perdagangan memang sebuah faktor positif. Namun ada faktor lain yang menjadi fundamental bagi perkembangan nilai tukar sebuah negara, dan Indonesia masih lemah dalam hal itu.

Pertama adalah transaksi berjalan (current account). Neraca perdagangan barang hanya satu komponen dari transaksi berjalan.

Di sisi transaksi berjalan, Indonesia kerap kali mengalami defisit. Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa.

Pasokan valas dari pos ini lebih bertahan lama, jangka panjang, ketimbang yang datang dari investasi portofolio di pasar keuangan (hot money). Jadi, tidak heran transaksi berjalan merupakan fundamental penting bagi mata uang sebuah negara.

Pada 2023, misalnya, transaksi berjalan Indonesia membukukan defisit US$ 1,57 miliar atau 0,11% Neraca perdagangan barang memang surplus US$ 46,35 miliar, ini yang tercermin dari surplus neraca perdagangan yang dilaporkan BPS.

Akan tetapi, neraca jasa-jasa mengalami defisit US$ 17,92 miliar. Kemudian neraca pendapatan primer pun membukukan defisit US$ 35,36 miliar.

Sumber: BI

Di neraca jasa, penyumbang defisit terbesar adalah jasa transportasi yang mencapai US$ 8,7 miliar. Lebih dalam ketimbang defisit pada 2022 yang sebesar US$ 8,2 miliar.

Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Capt Antoni Arif Priadi pernah menyebut sekitar 60.000 kapal mengangkut hingga 1 miliar ton barang keluar dan masuk perairan Indonesia setiap tahunnya. Namun memang pemain asing masih dominan.

"Dari seluruh kapal yang melakukan kegiatan ekspor impor di wilayah perairan Indonesia selama kurun waktu 2017-2022, sebanyak 37% merupakan kapal Indonesia, dan 63% merupakan kapal asing. Pada 2022 yang lalu, jumlah kapal yang melakukan kegiatan di perairan Indonesia mencapai 10.534, dan sebanyak 9.458 diantaranya merupakan kapal asing,” jelas Capt Antoni seperti dikutip dari keterangan tertulis Kemenhub.

Artinya, Indonesia  masih lebih banyak ‘membakar’ valas ketimbang menerimanya. Wajar saja neraca jasa masih terus defisit, karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pelaku usaha asing.

Sementara defisit di neraca pendapatan primer pada 2023 lebih dalam ketimbang 2022 yang sebesar US$ 35,3 miliar. Penyebab utamanya adalah peningkatan pembayaran imbal hasil investasi sejalan dengan meningkatnya penarikan utang luar negeri dan tingginya suku bunga global.

Utang Pemerintah

Tidak cuma di transaksi berjalan, Indonesia juga masih menjalankan defisit fiskal. Saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih defisit, maka pemerintah harus menambalnya dengan menarik utang.

Kala utang itu datang dari luar negeri, maka kebutuhan valas pemerintah meningkat. Hasilnya, rupiah akan tertekan.

Sumber: BI

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan pernah memberikan wanti-wanti soal ini. Tren suku bunga tinggi, seperti yang disebut sebelumnya, juga membawa risiko dalam pelaksanaan APBN.

"Semua takut masalah itu, karena ketika bunga pinjaman naik sedikit saja, beban terhadap fiskal akan sangat besar," kata Kepala Negara, belum lama ini.

Defisit transaksi berjalan dan defisit fiskal kerap disebut sebagai defisit kembar alias twin deficit. Sayangnya, ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh.

Dengan fundamental yang rapuh tersebut, maka tidak heran rupiah dalam tren melemah. Tanpa perbaikan struktural, sulit bagi twin deficit untuk pergi dan rupiah akan terus dihantui depresiasi.

(aji)

No more pages