Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai kelesuan permintaan global pascaperayaan Idulfitri menjadi pemicu tren bearish harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) belakangan ini.

Ketua Umum Gapki Eddy Martono menjelaskan, selain akibat permintaan yang lesu, harga CPO dunia makin lama makin kalah kompetitif dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya, khususnya minyak kedelai atau soybean oil.

“Sekarang selisih CPO dibandingkan dengan soybean di bawah US$200/ton, sedangkan konsumen ada pilihan untuk ke soybean. Karena apa? Pertama, lebih murah. Kedua, pengirimannya lebih dekat,” kata Eddy saat dihubungi, Kamis (16/5/2024).

Suplai minyak nabati lain yang sedang meningkat, jelasnya, praktis menekan harga. Ketika harga minyak lain seperti biji rapa, biji bunga matahari atau kedelai makin jauh lebih murah dari CPO; konsumen akan cenderung mengalihkan preferensinya ke jenis minyak lain. 

Petani melakukan panen sawit di Perkebunan sawit PT Perkebunan Nusantara III (Dimas Ardian/Bloomberg)

Dalam kesempatan terpisah akhir Apri, Eddy mengatakan kecenderungan peningkatan produksi minyak nabati selain CPO sudah mulai tampak sejak Oktober tahun lalu.

"Harga minyak bunga matahari di bawah harga CPO. Ini saya buktikan sendiri di Uzbekistan, China, dan India. Di sana harga minyak biji bunga matahari lebih murah, padahal produktivitas sawit luar biasa sangat tinggi. Namun, kenapa [minyak nabati lainnya] bisa lebih murah?" ujarnya.

"Karena memang begitu ada larangan ekspor [CPO] dari Indonesia, mereka [negara lain] butuh [mengamankan] ketahanan pangan juga. Jadi mereka gencar menanam, mereka menanam apa yang mereka bisa tanam, sehingga produksi bunga matahari melimpah."

Lebih lanjut, bukan hanya minyak biji bunga matahari saja yang mengalami kenaikan produksi. Minyak biji rapa atau rapeseed oil atau familiar disebut sebagai minyak bunga canola, serta minyak kedelai juga mengalami peningkatan produksi.

“Setelah koreksi yang cukup dalam, pasar kini melihat harga CPO sudah kompetitif,” ujar Anilkumar Bagani, Kepala Riset Komoditas di Sunvin Group yang berbasis di Mumbai, India kepada Bloomberg.

Pengiriman minyak kelapa sawit di pabrik minyak goroeng kawasan Marunda, Jakarta. Fotografer Dimas Ardian/Bloomberg


Pembatasan Ekspor

Pada perkembangan lain, Eddy menambahkan produk CPO Indonesia di pasar global menjadi tidak kompetitif lantaran banyaknya kebijakan-kebijakan seputar domestic market obligation (DMO) yang menekan laju ekspor.

Belum lagi, negara tujuan ekspor CPO terbesar Indonesia yakni China dan India mulai mencari alternatif ke minyak nabati lain.

"Ini tidak kompetitifnya bagi kita dibandingkan dengan negara tetangga [Malaysia, yang juga produsen besar CPO]. Kita harus bermain dalam kebijakan, misalnya besaran PE [pungutan ekspor] dan BK [bea keluar]-nya dikurangi besarannya [agar] lebih kompetitif," tegasnya.

Selain itu, kian meningkatnya produksi minyak nabati lain menurut Eddy juga menjadi salah satu alasan mengapa rata-rata harga minyak kelapa sawit jadi cenderung lebih mahal dari pada rerata harga minyak nabati dunia.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor CPO per April 2024 hanya mencapai US$1,39 miliar alias anjlok 10,49% secara month to month (mtm), meski naik tipis 0,91% secara year on year (yoy).

Harga CPO melesat pada perdagangan kemarin, setelah tertekan cukup dalam. Pada Rabu (15/5//2024), harga CPO di Bursa Malaysia untuk kontrak pengiriman Juli dibanderol MYR 3.854/ton, melonjak 1,02% dari hari sebelumnya.

Faktor technical rebound sepertinya menjadi pendorong kenaikan harga CPO. Dalam sebulan terakhir, harga masih turun 5,35% secara point to point.

Sementara itu, harga minyak kedelai di Dalian (China) bertambah 0,54% pada perdagangan kemarin. DI Chicago Board of Trade (Amerika Serikat), harga terkerek 0,58%.

Ekspektasi terhadap peningkatan pasokan minyak kedelai membuat CPO kekurangan peminat. Di Amerika Serikat (AS), saat ini penanaman kedelai sudah mencapai 35%, di atas periode yang sama dalam 5 tahun terakhir yang rata-rata 34%. Bahkan, penanaman diperkirakan bisa mencapai 39%.

(wdh)

No more pages