"Pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh munculnya tuntutan kebutuhan bangsa," ujar Lucius saat dihubungi Bloomberg Technoz, Rabu (15/5/2024).
Revisi ini, kata dia, jelas-jelas baru muncul ketika pembicaraan soal kabinet yang akan datang menemukan hambatan karena kuota menteri sesuai UU Kementerian dibatasi hanya 34 kementerian.
“DPR nampaknya lagi-lagi sedang menjalankan peran mereka sebagai abdi penguasa. Bisa dikatakan kerja DPR sekarang untuk kepentingan penguasa yang akan datang,” kata Lucius.
Misi Rekonsiliasi
Lucius menyebut misi rekonsiliasi pemerintahan Prabowo-Gibran hanya ingin mengakomodasi semua parpol dan kekuatan politik. Agar dapat merata, kata dia, maka ruang kementerian dibuka dengan jumlah yang lebih banyak.
Seperti diketahui, UU Kementerian Negara tidak ada dalam daftar 43 rancangan undang-undang (RUU) yang masih berada dalam pembicaraan tingkat I, prioritas kerja DPR pada dua masa sidang terakhir sebelum Oktober 2024. Selain itu, UU Kementerian Negara juga tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
“Ini benar-benar akan menjadi senjata Presiden untuk leluasa membagi-bagi kursi kabinet bagi mereka yang mendukungnya,” tutur Lucius.
Bangunkan amarah dan kecewa publik
Senada dengan Lucius, peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli mengungkapkan, revisi UU kementerian itu jelas terkait langsung dengan kepentingan presiden terpilih untuk membagi jatah menteri kepada parpol dan tim relawan presiden.
“Dengan adanya revisi ini tentu publik sangat kecewa. Sebab, ketika revisi UU tersebut terkait dengan kepentingannya begitu sigap dan gerak cepat,” tutur Lili.
Menurut Lili, revisi UU tersebut jangan sampai memberikan cek kosong dalam membentuk kementerian, karena harus ada limitasi jumlah menteri dan membatasi kewenangan presiden dalam membentuk kabinet.
“Asas efisiensi dan efektivitas tupoksi kementerian harus menjadi jangkar dan kriteria. Pengangkatan menteri juga harus berdasarkan kecakapan dan profesionalitas. Zaken kabinet mestinya menjadi suatu keniscayaan,” imbuh Lili.
Lili menyebut pembahasan revisi UU tersebut akan berjalan mulus jika parpol yang gabung dalam pemerintahan mayoritas. Kalaupun ada yang menolak, kecil kemungkinannya karena yang akan menolak adalah parpol yang tidak ingin bergabug dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Mudharat Kabinet Gemuk
Menurut Lili, jumlah kementerian dalam pemerintahan Prabowo-Gibran yang gemuk tidak akan efektif karena bisa terjadi tumpang tindih kewenangan, tupoksi, dan program. Kementerian yang baru dibentuk juga tidak bisa langsung berjalan karena perlu konsolidasi organisasi. Hal ini bisa memakan waktu lebih dari satu tahun.
“Yang jelas nanti terlihat adalah akan menyedot anggaran untuk gaji, tunjangan, fasilitas menteri, wakil menteri, staf khusus, dan pejabat eselon 1, 2 dan 3 yang baru,” ucap Lili.
Hal senada juga diungkapkan Lucius Karus. Dia menilai kabinet yang efektif yakni jumlahnya tidak terlalu banyak karena harus memiliki tugas dan peran yang jelas. Selain itu kualitas pejabat menteri yang akan menduduki posisi menteri juga sangat menentukan.
Menurutnya, jika penentuan figur semata-mata karena kompromi politik, maka jumlah kementerian yang semakin banyak tak akan berdampak positif. Justru akan membuat presiden pusing dalam melakukan koordinasi.
“Semakin gemuk kabinetnya ya semakin tidak efektif koordinasi untuk menyukseskan program-program. Karena Presiden hanya seorang, dia harus punya kemampuan untuk mengkoordinasikan semua kementerian itu. Tentu itu tidak mudah,” imbuh Lucius.
“Apalagi jika jabatan menteri itu diperoleh dari hasil kesepakatan politik bukan karena kompetensi, maka di samping alasan koordinasi, kerja menterinya juga akan sulit dijamin kesuksesannya.”
Klarifikasi Baleg
Ketua Baleg, Supratman Andi Agtas menyebut pembahasan RUU Kementerian--yang sebelumnya bukan bagian dari prolegnas prioritas-- diklaim mengacu pada putusan MK nomor 79/PUU-IX/2011, meski revisi UU tersebut bertepatan dengan isu presiden terpilih Prabowo Subianto yang dikabarkan akan membentuk kabinet pemerintahan berisi 40 kementerian.
Supratman mengatakan RUU Kementerian Negara masuk dalam kategori kumulatif terbuka. Sehingga DPR maupun pemerintah setiap saat bisa saja mengajukan RUU walaupun tidak masuk dalam program legislasi nasional.
Dalam putusan MK nomor 79/PUU-IX/2011, kata Supratman, menghapus ketentuan penjelasan pasal 10 bahwa wakil menteri harus dari golongan karir. Namun ada materi lain terkait efektivitas pemerintahan yang akan datang dapat berjalan efektif sesuai dengan visi dan misi presiden terpilih.
“Hari ini adalah penjelasan dari tenaga ahli untuk membahas perubahan RUU tentang Kementerian Negara. Soal apa keputusannya, kami serahkan semua kepada fraksi-fraksi setuju atau tidak. Karena ini usul inisiatif badan legislasi,” tambah dia.
(mfd/ain)