Pernyataan Lee ini disampaikan seiring dengan kenaikan suku bunga dan melambatnya pertumbuhan ekonomi di mana-mana yang memberikan tekanan pada bank-bank dan para pengembang yang berjuang untuk menyesuaikan diri setelah negara ini menerapkan kebijakan moneter yang longgar selama bertahun-tahun.
Pasar kredit Korea Selatan yang mencapai nilai US$1,3 triliun atau setara Rp 19.605, 03 triliun, sempat terguncang setelah perusahaan pengembang taman hiburan Legoland Korea secara tak terduga mengalami gagal bayar tahun lalu. Ini merupakan krisis kredit terburuk di Korea Selatan sejak krisis keuangan global (2007-2008). Situasi ini memaksa regulator dan bank-bank untuk menyuntikkan likuiditas dan menarik kembali utang untuk mencegah kerugian lebih besar.
Lee yang juga merupakan mantan jaksa, menegaskan kecil kemungkinannya Korea Selatan mengalami kejadian seperti runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) karena para pemberi pinjamannya memiliki penyangga yang cukup dan eksposur sekuritas yang terbatas. Dengan deposito bank yang sebagian besar terdiri dari rekening ritel dalam jumlah yang kecil-kecil, risiko penarikan dana nasabah besar-besaran (bank run) juga rendah.
Lee, 50 tahun, ditunjuk untuk menjadi nahkoda FSS setelah memimpin investigasi kasus korupsi petinggi Samsung Electronics Co., Jay T Lee yang akhirnya dihukum atas tuduhan tersebut.
Bank-bank dan perusahaan keuangan Korea Selatan setidaknya menyalurkan kredit senilai 140 triliun won ($108 miliar atau setara Rp 1.629,09 triliun) untuk pembiayaan proyek per September 2022, menurut data Bank of Korea (BOK). Nilai utang tersebut, biasanya harus dilunasi sebelum pengembang menyelesaikan pembangunan - ini situasi yang terjadi pada saat gejolak tahun lalu. Akibat melambatnya penjualan rumah, situasi ini mengancam para pengembang yang tidak memiliki cadangan uang tunai yang cukup.
Selama para pembuat kebijakan dapat menahan dampak dari setiap gagal bayar, stabilitas makroekonomi negara ini tidak akan rusak parah, meskipun kemerosotan pasar masih dapat merusak konsumsi, kata Lee.
Para pejabat Korea Selatan minggu ini mengambil bahwa langkah-langkah stabilisasi pasar yang diberlakukan selama krisis kredit akan dipertahankan lebih lama. Spread pada surat utang korporasi telah melebar lagi setelah berbulan-bulan stabil, dan sektor-sektor yang rentan seperti sekuritas beragun aset yang didanai oleh pembiayaan proyek belum sepenuhnya pulih.
Lee juga mengesampingkan upaya untuk menghapus obligasi tier 1 (Additional Tier-1 Capital Bond/AT1) atau obligasi prepertual tambahan, seperti yang dilakukan untuk menyelamatkan Credit Suisse Group AG.
Bank-bank Korea memiliki sekitar 32 triliun won obligasi AT1 yang belum dibayar, yang bukanlah jumlah yang besar mengingat ukuran aset mereka, menurut Lee.
"Banyak alasan yang membuat para investor takut di Eropa adalah bahwa AT1 mereka mungkin akan dihapuskan. Di Korea, obligasi CoCo tidak dirancang seperti itu," kata Lee.
Lee meminta bank di Korea Selatan, yang telah membukukan keuntungan dan membagi-bagikan bonus (kepada karyawan dan direksi, untuk berbagi beban selama era suku bunga tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pernyataan ini muncul ketika Presiden Yoon Suk Yeol mengkritik bank-bank karena melakukan "pesta uang". Pengetatan moneter selama lebih dari satu tahun telah mendorong suku bunga acuan BOK menjadi 3,5% dari 0,5%, dengan suku bunga KPR bank-bank besar dengan mudah mencapai 4%.
Para bankir harus mengakui bahwa "mereka mengeluarkan sejumlah besar uang dari sistem sehingga mereka dapat meringankan beban bunga pada rumah tangga dan UKM," ujarn Yoon. Presiden Korea juga memperingatkan bahwa sejumlah besar perusahaan-perusahaan kecil mungkin akan bangkrut dalam waktu enam bulan sampai satu tahun kecuali jika ada tindakan yang diambil.
Dengan Asistensi dari Sangmi Cha, Jaehyun Eom, Jeong-Ho Lee, Sabrina Mao, Andy Hung
(bbn)