Para hakim yang berasal dari pemilihan presiden berpotensi tak independen karena harus terus mendapat persetujuan presiden untuk tetap menjadi Hakim Konstitusi. Demikian pula hakim MK yang berasal dari pemilihan di Mahkamah Agung dan DPR.
Pada satu sisi, kata Mahfud, menilai wajar dan sah jika pemerintah dan DPR melakukan pembahasan revisi UU MK saat ini. Selain Pemilu sudah usai, kedua lembaga tersebut memang punya kewenangan menyusun perundang-undangan.
Akan tetapi, dia menilai, ada banyak hal positif dan negatif yang muncul bersamaan dengan pembahasan revisi UU MK.
Salah satu contohnya, menurut dia, jika aturan peralihan pasal 78 benar-benar disahkan dan berlaku. Hal ini membuat sejumlah hakim harus terus meminta dan mendapatkan persetujuan lembaga pengusul setiap tahun.
Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih harus mendapat persetujuan presiden tiap tahun. Saldi tercatat baru menjabat selama 7 tahun; sedangkan Enny baru akan menjabat 6 tahun, Agustus mendatang.
Aturan peralihan juga akan menyandera Ketua MK Suhartoyo yang harus mendapat persetujuan Ketua MA. Suhartoyo tercatat sudah menjabat menjadi hakim konstitusi selama 9 tahun.
Mereka dapat tetap bertugas hingga berakhirnya masa Surat Keputusan (SK). Namun, bisa saja ketiga hakim MK tersebut dapat langsung diganti.
Pemerintah dan DPR sebelumnya telah menyepakati revisi keempat UU MK untuk dibawa ke rapat paripurna terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.
Persetujuan membawa RUU MK ke paripurna diambil dalam rapat yang digelar tertutup antara Komisi III DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/5/2024).
Tidak hanya rapat yang digelar tertutup, rapat digelar di luar masa persidangan DPR atau saat DPR masih dalam masa reses yang seharusnya dimanfaatkan oleh anggota DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya.
(mfd/frg)