Sementara itu tadi malam, terbitnya data Inflasi Harga Produsen AS sesuai dengan ekspektasi pasar. Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI) untuk permintaan ada di angka 0,5% dari bulan sebelumnya setelah penurunan 0,1% yang direvisi turun di Maret, data Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan pada Selasa, malam tadi. Dibandingkan dengan tahun lalu, PPI ada kenaikan 2,2% sesuai dengan perkiraan sebelumnya.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, meskipun ada kenaikan, rincian dalam PPI akan memberikan kelegaan bagi para investor dan pejabat Federal Reserve karena kategori-kategori utama yang menjadi dasar ukuran inflasi yang diinginkan oleh bank sentral lebih diredam.
Namun, pelaku pasar belum bisa bernafas lega karena masih ada data penting lagi yang akan keluar nanti malam, yaitu Inflasi Harga Konsumen AS untuk April.
Bila inflasi inti pada April sesuai ekspektasi atau lebih rendah, itu akan menjadi kabar baik bagi pasar, demikian juga sebaliknya. Di sisi lain, sejumlah pejabat Federal Reserve masih melontarkan pernyataan yang nadanya Hawkish.
Terbaru, Gubernur The Fed Kansas Jeffrey Schmid menyatakan, suku bunga acuan bisa berada di level tinggi dalam waktu beberapa lama. Kebijakan restriktif The Fed saat ini sudah ada di tempat yang benar dan menurutnya pemegang kebijakan akan bersabar menunggu data-data terbaru untuk mengkaji lebih lanjut.
Survei yang dilakukan oleh 22V Research menunjukkan 49% investor memperkirakan reaksi pasar terhadap laporan CPI akan bersifat "Risk-On" (Optimis) - sementara hanya 27% yang mengatakan "Risk-Off" (Pesimis).
"Investor mengharapkan inflasi melandai di bulan April," kata Anthony Saglimbene dari Ameriprise.
"Bahkan jika penurunannya sedikit, pasar mencari bukti lebih lanjut bahwa tren penurunan inflasi tetap utuh dan, yang penting, tidak sedang dalam proses kenaikan kembali,” jelasnya.
Tim Research Phillip Sekuritas memaparkan, investor mengambil sikap hati-hati jelang rilis data Inflasi (CPI dan PPI) Amerika Serikat yang dapat mempengaruhi langkah pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di tahun ini.
“Pelemahan data ekonomi AS belakangan ini telah berhasil meniupkan sedikit optimisme di pasar saham mengenai potensi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve tahun ini. Namun rilis data PPI AS pada Selasa dan data CPI AS pada Rabu akan menguji optimisme tersebut,” mengutip riset harian Tim Research Phillip Sekuritas.
Laju kenaikan inflasi di AS diprediksi mengalami moderasi di April untuk pertama kali dalam enam bulan, memberikan secercah harapan bahwa tekanan kenaikan harga-harga akan mereda lebih lanjut setelah kembali melonjak di tiga bulan pertama tahun ini.
Dari dalam negeri, Penjualan Ritel berhasil mencatatkan pertumbuhan mencapai 9,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Maret, melonjak positif dari 6,4% yoy di bulan sebelumnya.
Ini menandakan ekspansi Penjualan Ritel selama 10 bulan berturut-turut dengan laju tercepat sejak Maret 2022 seiring dengan meningkatnya belanja masyarakat selama bulan Ramadan dan perayaan Hari Raya Idul Fitri.
Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang tercatat sebesar 235,4 atau tumbuh sebesar 9,3% yoy.
Secara bulanan (month-to-month/mtm), Bank Indonesia memaparkan Penjualan Eceran tumbuh 9,9% mtm, meningkat tajam dari bulan sebelumnya yang tumbuh 1,7% mtm. Mayoritas kelompok mencatatkan pertumbuhan positif, tertinggi pada sub kelompok sandang, diikuti peralatan informasi dan komunikasi, suku cadang dan aksesori, serta makanan, minuman, dan tembakau.
Ditambah lagi, sentimen positif datang dari data ekspor Indonesia yang diperkirakan tumbuh positif pada April. Neraca Perdagangan pun diramal kembali membukukan surplus.
Badan Pusat Statistik rilis data perdagangan internasional Indonesia April pada Rabu siang ini. Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg memperkirakan ekspor tumbuh 4,57% yoy. Membaik dibandingkan Maret yang terkontraksi (tumbuh negatif) 4,19% yoy.
Jika terwujud, maka ini akan menjadi pertumbuhan positif pertama sejak Mei 2023 atau hampir setahun.
Saat ekspor membaik, impor malah melambat. Konsensus Bloomberg memperkirakan impor pada April tumbuh 7,15% yoy. Lebih rendah ketimbang Maret yang melesat 12,76% yoy.
Jika terwujud, maka neraca perdagangan akan membukukan surplus selama 48 bulan beruntun. Kali terakhir neraca perdagangan mengalami defisit adalah pada April 2020.
Dalam 20 tahun terakhir, ini adalah rangkaian surplus terpanjang kedua. Hanya kalah dari Februari 2004-Maret 2008 atau 50 bulan beruntun.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana memaparkan, IHSG terkoreksi 0,22% ke 7.083 disertai dengan munculnya volume penjualan.
“Selama masih mampu berada di atas 7.026 sebagai support krusialnya, maka posisi IHSG diperkirakan sedang berada pada bagian dari wave [c] dari wave B, sehingga IHSG masih berpeluang untuk menguji area 7.289,” papar Herditya dalam risetnya pada Rabu (15/5/2024).
Bersamaan dengan risetnya, Herditya memberikan rekomendasi saham hari ini, ACES, BMRI, INCO, dan MEDC.
Analis Phintraco Sekuritas juga memaparkan, IHSG berpotensi lanjutkan konsolidasi di kisaran 7.100 pada perdagangan hari ini, Rabu 15 Mei.
“Pola inverted dragonfly doji yang terbentuk di Selasa (14/5/2024) mengindikasikan tekanan jual yang masih cukup besar terhadap IHSG. Stochastic RSI break low level pivot 50%, memperkuat potensi konsolidasi lanjutan dalam rentang 7.000-7.200 dengan pivot di 7.100,” tulisnya.
Sesuai perkiraan analis, Penjualan Ritel dalam negeri tumbuh 9,3% yoy di Maret 2024 dari 6,4% yoy di Februari 2024. Sebelumnya, Indeks Keyakinan Konsumen melonjak ke 127,7 di April 2024. Kedua data ini mengindikasikan bahwa konsumsi RI masih relatif solid, dan bisa diandalkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5% yoy sepanjang tahun ini.
Melihat hal tersebut, Phintraco memberikan rangkuman rekomendasi saham hari ini meliputi pada saham BBRI, BRIS, INDF, ICBP, dan ISAT.
(fad)