Logo Bloomberg Technoz

“Masalah di Indonesia, selayaknya negara besar lainnya, adalah selalu ada kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan.  Kami, padahal, sudah melakukan edukasi secara agresif untuk mendorong literasi keuangan. Namun, tetap saja gap-nya tinggi. Baru pada 2022 gap-nya agak menyempit,” ujar Sardjito di sela dialog tingkat tinggi bertajuk Promoting Digital Financial Inclusion and Literacy for MSMEs, yang merupakan bagian dari rangkaian pertemuan Asean Finance Ministers and Central Bank Governors (AFMGM) di Nusa Dua, Rabu (29/3/2023).

Pinjaman Online di Indonesia (Dennis A Pratama/Bloomberg Technoz)

Sardjito menjelaskan, literasi keuangan yang rendah menyebabkan banyak orang Indonesia terlilit utang, terjebak phishing, skimming, serta menjadi korban peretasan data pribadi di berbagai platform pinjol.

Apalagi, masih banyak penyedia layanan finansial atau financial service provider (FSP) nakal. Mereka menggunakan taktik penjualan yang menyesatkan, iklan tidak sesuai fakta, atau penagih utang tidak beretika. Bahkan, kerap kali menyalahgunakan data pribadi klien, serta menerapkan kontrak digital yang tidak adil.

Tingginya kesenjangan finansial di Indonesia juga berujung pada rendahnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terekspose layanan perbankan atau bankable. 

“Kalau dari sisi UMKM di Indonesia, hanya 30% yang sudah bankable. Per November 2022, [penyaluran] kredit UMKM mencapai Rp 1.248,4 triliun atau mencapai 20,3% dari total penyaluran kredit perbankan,” lanjut Sardjito.

Sebagai perbandingan, tingkat UMKM yang sudah bankable di Malaysia mencapai 66%, di Singapura 39%. Rasio lebih tinggi ada di Korea Selatan (82%), dan Jepang (66%). “Semuanya karena literasi finansial yang tinggi dan aksesibilitas yang mudah,” ujar Sardjito.

Penyaluran Kredit Perbankan (Sumber: BI)

Program Edukasi

Untuk meningktakan literasi keuangan di Indonesia, OJK telah membentuk 148 program edukasi dengan 54.678 orang partisipan per Maret 2023. Dari keseluruhan program tersebut, sebanyak 14 di antaranya merupakan edukasi khusus keuangan syariah. 

“Target kami tidak hanya UMKM, tetapi 26% generasi muda, 10% kalangan umum, 6% UMKM, 6% profesional, 4% perempuan, 3% kalangan pekerja, 2% masyarakat 3T [terdepan, terluar, tertinggal], 2% komunitas, dan 1% penyandang disabilitas,” kata Sardjito.

Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPKAKD) bentukan OJK, lanjut Sardjito, terus dipacu. Per Maret 2023, jumlah TPAKD sudah menjangkau 34 provinsi dan 454 kecamatan. 

“Salah satu hal penting yang kami lakukan di provinsi dan wilayah-wilayah tersebut adalah mendorong literasi keuangan melalui program kredit untuk melawan loan sharks [rentenir]. Ini sudah berlaku di 35 wilayah kerja OJK dan mengumpulkan 983.867 debitur dengan nilai penyaluran kredit Rp 25,6 miliar per kuartal III-2022,”  terangnya.

OJK juga menyalurkan program pendanaan untuk sektor agrikultura kepada 41.341 nasabah dengan nilai Rp 1,98 triliun per kuartal III-2022.

Hasil dari upaya-upaya tersebut, menurutnya, terefleksi dari mulai menurunnya pengaduan masyarakat terhadap layanan keuangan di dalam negeri. Pada 2019, OJK menerima sebanyak 177.218 aduan terkait dengan layanan keuangan.

Satu tahun berselang, pada 2020 pengaduan tercatat  87.308. Pada 2021 ada 287.734 pengaduan. Pada 2022 sebanyak 315.926 pengaduan, dan per Maret 2023 ada 65.886 pengaduan.

“Aduan pelanggan yang paling banyak adalah terkait dengan layanan keuangan yang berhubungan dengan UMKM,” tuturnya.

(wdh/wep)

No more pages