"Metalurgi coal itu harus kita proses, dicuci di wash, itu membutuhkan investasi dan capex yang besar," ujar dia.
Proses itu, kata dia, dilakukan guna terus meningkatkan produksi batu bara yang digunakan untuk pabrik besi dan baja itu yang selama ini didominasi oleh Australia.
"Kita ingin produksinya adaro metalurgi coal bisa terus naik tidk hanya mentok di 4,5 juta tetapi mengoptimalkan cadangan yang ada, karena kebetulan kebutuhan untuk metalurgi coal itu cukup baik
Tak berbeda dengan batu bara metalurgi, proses produksi aluminium juga akan membutuhkan investasi yang sangat besar.
"Ini juga membutuhkan investasi besar, contoh membangun plantanya yg alumuniumnya hampir US$1 miliar, kemudian washing plant dan lainnya membutuhkan capex yang besar."
Beri Nilai Tambah
Selain itu, Christian juga mengatakan bahwa jika nantinya megaproyek aluminium yang direncanakan tersebut telah beroperasi juga dapat meningkatkan nilai tambah dalam negeri.
Sebagai contoh, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang 2023, Indonesia telah impor aluminium sebanyak 707,9 ribu ton dengan nilai lebih dari US$2 miliar.
"Karena alumunium kita impor dari berbagai negara, sehingga kalau sampai 1 juta ton, 1 alumuniumnya us$2.500, defisitnya Indonesia di alumunium sudah US$2,5 miliar," jelas dia.
Itu baru aluminium, kalau semua produk kita impor terus, ekspor bauksit cuma 50 dolar, impor aluminium 2.500 dolar, dari 50 dolar ke 2.500 dolar ini yang menikmati orang luar negeri.
"Ini bisnisnya bagus kenapa kita harus impor. Jadi arahnya kita kesana, metalurgi coal jelas, alumunium jelas, butuh dana yang besar."
(ibn/dhf)