Metode freeze-drying juga tidak melalui prosedur pasteurisasi yang bertujuan membunuh bakteri berbahaya. Dalam hal ini, pasteurisasi sengaja dihindari untuk menjaga probiotik vital yang ada dalam ASI.
Dengan demikian maka risiko kontaminasi tetap menjadi ancaman, khususnya pada saat rekonsiliasi penambahan air pada bubuk freeze-dryed ASI sebelum dikonsumsi bayi.
Satgas ASI IDAI juga memberikan catatan khusus mengenai apakah produk freeze-dryed ASI merupakan Raḍāʿah.
Permasalahan ini penting bagi mayoritas umat muslim di Indonesia, mengingat Radha'ah adalah hubungan mahram yang diakibatkan oleh persusuan yang dilakukan oleh seorang perempuan kepada bayi yang bukan anak kandungnya.
Apabila bubuk freeze-dryed ASI dilarutkan kembali dengan air, secara wujud warna serta rasanya kembali menjadi susu, maka berlaku Raḍāʿah bagi semua pihak terkait.
“Menyusui dan memerah ASI untuk bayi mungkin terasa melelahkan, dan dapat dimengerti bila ibu ingin mencari cara termudah untuk memastikan bayi tetap memperoleh ASI. Menyusui langsung dari payudara ibu sangat direkomendasikan agar dapat terjalin kontak erat antara ibu dan bayi, menumbuhkan rasa aman dan meningkatkan ikatan orangtua-anak. Menyusui bukan sekadar memberikan ASI,” ingat Dr Naomi.
Sebelumnya, ahli gizi, Dr. dr Tan Shot Yen, M.Hum menegaskan bahwa ASI bukan seperti susu pada konten yang menunjukkan hasil produk dari ASI bubuk.
"Namun ASI adalah cairan hidup yang setiap saat berubah. Setiap waktu merupakan komposisi dinamis antara kebutuhan bayi dan sinyal ibu yang merespons," kata dr. Tan dalam akun Instagram pribadinya.
Dokter Tan menilai ASI mengandung komponen hidup, di mana ketika dilakukan proses perebusan akan mati. Dia pun juga menegaskan bahwa menyusui berbeda dari hanya sekadar memberi makan.
(dec/spt)