"Kalau semuanya 'iya iya iya' sama kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka sebenarnya kita boleh mengatakan itu bukan demokrasi," kata Bivitri menegaskan.
Demokrasi, kata dia, hadir dalam bentuk pemerintahan dengan feedback, penuh perkembangan. Demokrasi bertujuan menghadirkan perbaikan dari apa yang ternyata di lapangan tidak berjalan.
"Masalahnya apakah kritik itu dimaknai sebagai gangguan? seperti yang dinarasikan oleh Pak Prabowo, menurut saya bukan."
"Cara pandang seperti itu buat saya jadi menyempitkan demokrasi, seakan-akan demokrasi itu dimaknai kerja sama besar-besaran, koalisi besar dan akhirnya membuat orang-orang yang memberikan kritik atau masukan itu dimaknai sebagai gangguan," tegasnya.
"Hal itu tidak baik untuk demokrasi Indonesia ke depannya," ujar Bivitri.
Luruskan arti gangguan
Pengamat Senior BRIN, Lili Romli mengatakan Prabowo tentu perlu meluruskan makna ‘mengganggu’ yang dia maksud.
Lili mengatakan terdapat 2 makna yang berpotensi dimaksudkan oleh Prabowo dalam melontarkan pernyataan tersebut.
Pertama, makna di mana oposisi diminta untuk tidak melakukan upaya untuk menjatuhkan dan mengganti pemerintahan sehingga muncul instabilitas.
Menurut Lili, makna ‘mengganggu’ dalam poin pertama memang dinilai wajar untuk disampaikan Prabowo. Sebab, Indonesia tidak menganut sistem parlementer, tetapi sistem presidensial yang jabatan pemerintah ditetapkan selama 5 tahun.
“Untuk itu sikap oposisi yang dibangun adalah oposisi loyal, yang tidak memiliki tujuan untuk menjatuhkan pemerintahan,” ujar Lili.
“Jadi partai oposisi tidak boleh asal mencari-cari kesalahan dan asal ngomong, harus benar-benar berdasarkan evidence dan rasionalitas. Sebaliknya, sebagai partai oposisi juga harus kritis dalam upaya memperjuangkan kepentingan rakyat,” ujar Lili.
Kedua, makna di mana oposisi tidak boleh melakukan kritik.
Dalam poin kedua, Lili menilai, Prabowo seharusnya tidak memberikan larangan kritik tersebut. Sebab, partai politik yang berperan sebagai oposisi memang memiliki tugas untuk memberikan kritik dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan agar tetap sesuai jalur.
“Jika kebijakan pemerintah melenceng dan menyimpang, menjadi tugas oposisi untuk meluruskannya,” ujar Lili.
Peneliti Formappi, Lucius Karus menganggap pejabat yang takut dengan ‘gangguan’ dari oposisi merupakan tindakan yang tak sesuai prinsip demokrasi.
Apalagi, kata Lucius, kekuasaan berpotensi melahirkan penyimpangan bila tidak dikontrol.
"Jadi pernyataan Prabowo ini kalau tidak dijelaskan lebih lanjut soal makna kata mengganggu itu memang terlihat seperti ingin menunjukkan keinginan untuk menjadi otoriter,” ujar Lucius, kemarin.
Lucius mengatakan, pejabat dalam sistem demokrasi harus selalu mau terbuka pada kontrol.
Lucius menilai masih terlalu dini untuk menyimpulkan pernyataan Prabowo menjadi lonceng kematian demokrasi.
“Toh nampaknya dia masih mengakui ada kelompok lain yang ngga mau diajak bergabung,” ujar Lucius.
Presiden Terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto kembali menegaskan keputusannya untuk membentuk koalisi gemuk dalam pemerintahan mendatang bersama Wakil Presiden Terpilih Gibran Rakabuming Raka.
"Indonesia tidak bisa dibendung. Kecuali elite Indonesia tidak bisa atau tidak mau kerja sama. Kuncinya itu," kata Prabowo di Rakornas PAN, Kamis Malam (9/5/2024).
"Kalau ada yang mau nonton di pinggir jalan, silakan jadi penonton yang baik. Tapi kalau sudah tidak mau diajak kerja sama, ya jangan mengganggu," ujar Prabowo.
(dov/ain)