Level itu memang sudah 'mendingan' dibanding titik terlemahnya bulan lalu, terutama karena arus modal asing jangka pendek alias hot money kembali masuk. Dua pekan pertama bulan ini, asing memborong instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sedikitnya sebesar Rp19,77 triliun dan di Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp8,1 triliun. Sedang di pasar saham, masih terjadi capital outflow (modal asing keluar) Rp5,03 triliun.
Namun, mengandalkan devisa masuk dari arus investasi portofolio tidak cukup untuk menjaga kekuatan rupiah. Kinerja transaksi modal dan finansial lebih volatile karena mudah dipengaruhi oleh turbulensi pasar keuangan global.
Sementara transaksi berjalan RI, yang menggambarkan pasokan valas dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa sehingga valas lebih bertahan lama mengendap di dalam negeri, masih sering defisit karena kekurangan variasi sumber pasokan.
Sebagai gambaran, pada akhir kuartal IV lalu, transaksi berjalan mencatat defisit US$1,3 miliar atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto, berbalik dari kondisi surplus pada akhir 2022 sebesar US$4,3 miliar. Kondisi yang bertolak belakang itu karena Indonesia hanya mengandalkan ekspor komoditas sumber daya alam. Pada 2022 terjadi booming harga komoditas global yang membuat kinerja ekspor pecah rekor. Namun, begitu pesta komoditas berakhir tahun lalu, transaksi berjalan RI ikut terseret.
Mungkin akan berbeda cerita bila RI tidak cuma mengandalkan mesin devisa dari ekspor sektor sumber daya alam. Bila Indonesia mampu membesarkan sektor pariwisata hingga semaju Thailand atau sebagus Filipina yang unggul dengan tenaga kerja migrannya, fundamental rupiah mungkin akan lebih kuat.
"Sektor pariwisata RI under potential [belum tergarap potensinya]. Bila kita bisa tarik pendapatan dari pariwisata seperti Thailand, yang bisa menarik turis hingga 40 juta orang sebelum pandemi, itu bisa sangat membantu [fundamental rupiah]," kata Enrico Tanuwidjaja, SVP Head of Economics & Research Bank UOB Indonesia.
Sektor pariwisata internasional menjadi salah satu kunci ekonomi Thailand dengan sumbangan terhadap PDB mencapai 11,5% pada 2019, dengan kedatangan turis asing hingga 39,8 juta orang. Sempat terpukul saat pandemi, seperti seluruh bisnis pariwisata di seluruh dunia, sektor pariwisata Thailand pada 2023 mulai bangkit dengan kedatangan 28 juta turis asing dan menarik pendapatan hingga 1,2 triliun baht, sekitar US$32,65 miliar.
Sementara Filipina banyak mendapatkan pasokan devisa dari remitansi tenaga kerja mereka di luar negeri yang banyak berkiprah di sektor hospitality dan jasa mulai dari asisten rumah tangga, perawat, teknisi, pelayan toko, pekerja sektor jasa lain dan sektor-sektor lain. Nilai remitansi yang masuk ke Filipina dari 2,3 juta warganya yang bekerja di luar negeri mencapai US$37,2 miliar pada 2023, menyumbang 8,5% PDB dan 7,7% pendapatan nasional.
Indonesia memiliki potensi untuk menggarap sektor-sektor itu agar pasokan devisa masuk ke perekonomian bisa semakin besar, bukan hanya mengandalkan devisa dari ekspor sumber daya alam.
Ekspor tenaga kerja, misalnya, bisa didukung dengan memperbanyak pelatihan tenaga kerja terampil supaya penyebaran pekerja migran semakin luas ke sektor-sektor dengan pendapatan lebih besar. Selain sektor domestic worker (asisten rumah tangga) yang masih mendominasi sejauh ini, sektor hospitality atau wellness dan sektor jasa lain, bisa disasar dengan peningkatan kualitas tenaga kerja migran.
"Pendidikan ke tenaga kerja perlu ditingkatkan, dan itu butuh dukungan fiskal, perlu libatkan swasta juga. Begitu juga untuk memajukan sektor pariwisata," kata Enrico.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik terbaru, pada Maret lalu, kunjungan turis asing ke Indonesia baru 1,04 juta kunjungan. Sedang secara kumulatif selama kuartal 1-2024, kunjungan turis asing mencapai 3,03 juta, naik 25,4% dibanding 2023 dan sudah lebih tinggi dibanding awal pandemi, Maret 2020 yang sebesar 2,65 juta kunjungan.
Namun, bila melihat potensi tujuan wisata alam dan luasan wilayah RI, angka kunjungan sebesar itu masih kecil apalagi dibanding Thailand. Selain itu, ada kesan Indonesia selama ini hanya berkutat mengandalkan Bali, dan kini Labuan Bajo, untuk menarik turis asing datang.
Padahal ada banyak spot wisata potensial di tempat-tempat lain. Dengan ribuan pulau dan banyak sekali wisata alam yang menarik, tidak berlebihan bila banyak yang menilai potensi sektor ini masih belum terjamah maksimal. Belum lagi bila menyoal wisata kuliner nusantara.
Lebih jauh misalnya sektor ekonomi kreatif, Indonesia bisa banyak belajar dari Korea Selatan melalui K-Wave, Hallyu, berhasil membawa seluruh dunia 'demam' K-Pop, menggilai segala hal berbau Korea mulai dari kimchi hingga skincare Korea.
Sebuah laporan dari Allied Market Research, seperti dilansir dari Asia Fund Manager, menyebut, pasar pertunjukan K-Pop saja nilainya diprediksi mencapai US$20 miliar pada 2031. Sementara dari lini industri musik, nilai penjualan K-Pop mencapai 11 triliun won pada 2022. Belum menghitung industri merchandise, skincare, film, kuliner, dan lain-lain. Fans Hallyu di seluruh dunia diperkirakan mencapai 225 juta tahun lalu yang tersebar di 1.748 fans klub di 119 negara yang 68% didominasi oleh fans K-Pop.
Jangan hanya jadi pasar
Indonesia dengan lebih 17.000 pulau, keindahan alam luar biasa, keragaman budaya, potensi kuliner, sayangnya belum banyak tergarap secara optimal. Bahkan, Indonesia semakin terancam menjadi pasar saja, pengimpor barang dan jasa dari luar yang membawa lari potensi devisa. Termasuk yang terakhir disoroti oleh Presiden Joko Widodo, eksodus orang Indonesia yang berobat ke luar negeri.
Jokowi memperkirakan dua juta WNI setiap tahun pergi ke Malaysia, seperti ke Penang, dan Singapura dan berbagai negara lain untuk berobat. “Rp 165 triliun devisa kita hilang gara-gara itu," kata Jokowi.
Pendapatan RI dari sektor wisata hanya sebesar US$7,03 miliar pada 2022. Rata-rata pengeluaran turis asing ketika berkunjung ke Indonesia mencapai US$1.448 per orang tahun itu. Sedang pada 2023, data selama periode Januari-Juni 2023, nilai devisa sektor wisata RI sekitar US$6,08 miliar dan ekspor produk ekonomi kreatif pada periode yang sama sebesar US$11,82 miliar.
Tahun ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menargetkan ada 14,2 juta kunjungan turis asing dari 11,7 juta kunjungan tahun lalu, yang diharapkan menyumbang kontribusi devisa sektor pariwisata sebesar US$7,09-9,99 miliar atau 4,5% PDB tahun ini. Adapun sumbangan devisa dari remitansi tenaga kerja Indonesia dari luar negeri pada 2023 mencapai US$14,22 miliar.
Untuk menggenjot pariwisata membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai untuk aksesibilitas ke daerah tujuan wisata yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara untuk menggaet remitansi pekerja migran, pemerintah perlu serius meningkatkan kualifikasi TKI supaya bisa semakin banyak menyasar sektor formal yang memberikan pendapatan lebih besar sehingga potensi devisa yang masuk juga bisa meningkat.
Beberapa terobosan sejauh ini cukup layak diapresiasi seperti keseriusan Kementerian Kesehatan mendorong 'wisata hospitality' misalnya dengan membangun pusat layanan kesehatan di Sanur, Bali, demi mencegat terbangnya devisa WNI yang berobat ke negeri jiran. Begitu juga, kebijakan mandatori penempatan devisa hasil ekspor sejak Agustus lalu, demi menarik dolar AS milik eksportir yang selama ini banyak 'parkir;' di perbankan negara tetangga.
Namun, pemerintah masih memiliki sangat banyak PR yang menuntut penyelesaian segera. Mulai dari maraknya pungutan liar di daerah wisata, belum lagi wacana tourism fund, pungutan dana wisata, yang menuai banyak kritik dari pelaku bisnis pariwisata karena dianggap membebani. Belum lagi, isu birokrasi yang ruwet perihal perizinan event, yang membuat Indonesia terlihat sangat ketinggalan di hadapan Singapura yang berhasil menggaet banyak pesohor dunia tampil di sana hingga sukses panen devisa termasuk menarik masuk dolar AS dari orang Indonesia.
Tanpa perbaikan dan terobosan struktural untuk memperkuat fundamentalnya, rupiah akan terus menerus menghadapi kerentanan akibat terlalu bergantung pada hot money yang keluar masuk dalam jangka waktu singkat, sementara pendapatan dari perdagangan barang dan jasa tak jua optimal.
(rui)