Pemain bisnis paylater yang sudah cukup lama memimpin ceruk ini di antaranya adalah Kredivo, Akulaku, GoTo melalui GoPaylater, lalu Shopee Paylater, dan lain sebagainya.
Kini, pinjaman online bukan hanya didominasi oleh perusahaan fintech, penyedia P2P lending ataupun e-commerce yang memiliki izin fintech. Bank-bank kelas kakap juga menerjuni lini ini melihat potensi bisnis yang menggiurkan.
Bank Mandiri menyediakan Livin’ Paylater yang memungkinkan nasabah membayar belanja mulai Rp10.000 hingga Rp20 juta melalui aplikasi tersebut dengan metode QR atau mode pembayaran lain, memakai uang pinjaman.
Nasabah dikenakan biaya 0,25% dari nilai transaksi setiap memakai paylater. Cicilan juga disediakan dengan tenor 1 bulan sampai 12 bulan, dengan bunga dikenakan sebesar 1,5% per bulan untuk cicilan di atas 3 bulan.
Bank swasta terbesar, BCA, juga menggarap ceruk ini dengan layanan BCA Paylater. Saldo pinjaman disediakan hingga Rp20 juta dengan bunga 2% per bulan di mana saat ini masih berlaku promo bunga 0% untuk cicilan 1 dan 3 bulan dan 1,25% untuk 6 dan 12 bulan.
Data masih kabur
Berapa nilai penyaluran pinjaman melalui paylater di Indonesia sejauh ini? Ternyata tidak berbeda dengan di Amerika, data penyaluran paylater di negeri ini juga masih belum jelas. Sampai saat ini tidak ada data yang tersedia secara spesifik.
Otoritas Jasa Keuangan baru sebatas menyediakan statistik data industri fintech dari penyedia P2P Lending, di mana tak jelas dibedakan apakah data itu termasuk paylater atau hanya cash loan (pinjol) dan P2P lending.
Sementara data paylater juga tersedia di statistik perusahaan pembiayaan. Data terakhir yang dilansir oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai akhir Maret lalu nilai outstanding pembiayaan melalui platform paylater ini mencapai Rp6,13 triliun, naik 23,9% year-on-year dengan rasio paylater bermasalah (nonperforming finance) 3,15% gross dan 0,59% nett.
Adapun data pinjol oleh fintech P2P lending sampai akhir Februari lalu, nilai pinjaman tersalur mencapai Rp61,09 triliun terhadap 16,7 juta rekening penerima pinjol, naik 22% dibanding Februari 2023 yang baru sebanyak Rp50,08 triliun. Pertumbuhannya juga melampaui penyaluran kredit bank yang tercatat 113% pada Februari lalu.
Yang perlu dicermati, tren pinjol macet dengan Tingkat WanPrestasi 90 hari (TWP 90) terus meningkat, mencapai 2,95%, tertinggi sejak Juli 2023 dengan nilai setara Rp1,8 triliun.
Sedangkan pinjol bermasalah (tidak lancar dengan tunggakan antara 30-90 hari) meningkat mencapai Rp4,31 triliun. Sehingga total, jumlah pinjol bermasalah pada Februari 2024 mencapai Rp6,11 triliun. Nilai itu meningkat dari Rp4,89 triliun pada Februari 2023.
Penunggak pinjol didominasi oleh nasabah perorangan dengan nilai tunggakan bermasalah mencapai Rp5,55 triliun atau 91% dari total pinjol bermasalah di fintech P2P Lending.
Adapun nilai paylater yang disalurkan oleh perbankan masih kecil karena bank baru terjun ke ceruk ini tahun lalu.
BCA, misalnya, mencatat penyaluran paylater sampai kuartal 1-2024 sebesar Rp185 miliar dan berkontribusi sekitar 1% terhadap total kredit BCA di segmen pinjaman perseorangan (personal loan) yang mencapai Rp17,1 triliun sampai Maret lalu. Jumlah nasabah pengguna paylater BCA mencapai 88.500 nasabah.
Debitur usia produktif
Kegandrungan konsumen memakai paylater atau mengakses pinjol untuk membiayai belanja mereka dan kebutuhan dana tunai, bisa menjadi boomerang bila tidak diikuti oleh literasi finansial yang memadai terkait risiko mengambil pinjaman berbiaya tinggi.
Terlebih kebanyakan pengakses paylater dan pinjol di Indonesia adalah debitur usia produktif. Catatan Pefindo Biro Kredit, seperti dilansir oleh media lokal, mencatat ada 13,4 juta orang di Indonesia yang berutang memakai paylater sampai akhir tahun lalu.
Pengguna paylater usia produktif mendominasi terdiri atas 6,99 juta debitur termasuk kalangan milenial (usia 43-28 tahun) dan Gen Z (usia di bawah 27 tahun) yang mencapai 4,59 juta debitur. Sementara debitur dari Gen X yang tahun ini berusia antara 44-59 tahun mencapai 1,62 juta debitur dan baby boomers sebanyak 86.332 debitur.
Yang perlu dicermati, paylater macet terbanyak juga ‘disumbang’ oleh kalangan milenial, mencapai Rp1,27 triliun dari total paylater macet senilai Rp2,12 triliun pada Desember. Gen Z juga memiliki paylater macet sebesar Rp460 miliar menurut data Pefindo.
Masalah utang yang membekap kalangan usia produktif bila dibiarkan bisa berimbas jauh ke prospek perekonomian keseluruhan. Sebagaimana yang terjadi di Amerika, utang bermasalah yang menumpuk bisa menyulitkan perekonomian yang dibayangi ‘bom waktu’ ledakan utang.
Utang bermasalah atau macet di paylater ataupun pinjol yang notebene untuk keperluan konsumtif belaka, bisa menurunkan skor kredit sehingga menurunkan juga kelayakan seseorang mendapatkan pinjaman dari bank.
Sementara di usia produktif, kebutuhan akan pinjaman masih besar mulai dari kredit pemilikan rumah (KPR) untuk membeli rumah pertama, kredit kendaraan bermotor (KKB) dan jenis-jenis kredit lain yang jamak digunakan nasabah usia produktif.
Beberapa waktu lalu, OJK menyebut banyak keluhan dari perbankan penyedia KPR yang jadi enggan memberikan KPR karena calon debitur memiliki tunggakan paylater sehingga membuat skor kreditnya jelek dan tak layak diberikan pinjaman.
“Beberapa bank 'mengeluhkan' pada OJK, ini anak-anak muda banyak yang harusnya mengajukan KPR rumah pertama, yang lebih penting kan rumah, tapi nggak bisa karena ada utang di PayLater. Itu kadang [tunggakan paylater] hanya Rp300.000-400.000 tapi kemudian kredit skor jelek,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi.
-- update data paylater tersalur di paragraf ke-13
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
(rui)